The
Art of Music and Enjoyment
(In
My Thought)
“Indahnya musik, hanya kenikmatan
imajinatif”
Seorang
musisi seharusnya sadar bahwa dirinya adalah seorang insinyur emosi.
Struktur intonasi nada dari blue print yang dibangunya akan membangun bangunan
dinamika intuisi manusia. Intuisi merupakan teman akrab rasa penasaran dan
keragu-raguan, yang harap-harap cemas antara kesedihan dan kebahagiaan. Sama
dengan kesedihan, pun kebahagian akan ditafsirkan berbeda-beda berikut
keunikanya masing-masing. Kebahagiaan itu suatu suasana hati yang serba indah
dalam rasa yang, menurut saya, lebih bersifat subjektif individualistis
daripada komunal.
Yang
kebanyakan orang lebih meyakini, "Kebahagiaan itu relatif".
Barangkali semacam unit-unit satuan yang berakhir sebagai pundi kesatuan. Yang
kita terlalu berfokus mengamatinya pada diri kita sendiri sebagai individu,
intrapretasi derivatif dari intuisi. Kebahagiaan bersifat eksklusif pun lebih
banyak terpendam dalam batin, selalu lebih banyak yang tak terucapkan.
Pernahkah mendengar, "Better left unsaid". Ada baiknya hal-hal paling
esensial di dunia tak perlu diucapkan, cukup dirasakan. Jangan jelaskan,
"Temanmu tak membutuhkanya, musuhmu takkan percaya".
Lalu
"intuisi". Sebuah rasa yang sedikit mistis untuk dipahami dalam
eksistensinya, mengapa ada dan terjadi---meski seolah dia sendiri tak butuh
dipahami. Hanya saja dia tak dapat dibantah memang "alat" untuk
memahami. Walau sering, dia pula kesulitan memahami dirinya sendiri yang
beroperasi.
Gumam,
"Aku merasa aku". Juga, "Darimanakah aku?".
Aku
ingin menemukan 'aku'........
Mungkin
bahagia, bentuk sederhana alam imajinasi sukmawi pada kita yang
"kebetulan" bergugus bagus---ketidaksengajaan yang menyenangkan. Saya
sebut "kebetulan" karena dunia penuh ketidakpastian, bahkan soal
kebahagiaan. Suatu komposisi suasana tenang serta penuh harapan juga rasa aman.
Rasa aman sangatlah penting. Orang sakit yang memiliki rasa aman, dia tidur
nyenyak. Orang sehat yang tak memiliki rasa aman, takkan berasa nyenyak. Orang
miskin yang memiliki rasa aman, dia tidur nyenyak. Namun sekalipun kaya jika
tak memiliki rasa aman, tentu tak punya "enak". Yang saya pahami,
"keputusasaan" sangatlah menyiksa.
Musik
identik dengan kebahagiaan, suatu hiburan---entertainment. Tepatnya, agak lebih
pantas diidentikan dengan kebahagiaan daripada kesedihan. Manusia: baik
pencipta, penggubah, pemain, maupun penikmat, secara visioner berharap besar
menjadikanya sebagai sesuatu yang "dapat dinikmati". Kenikmatan dari
sajian bagi intuisi itu sendiri, yang menganggap rasa aman-tenang berkandung
harapan adalah "kebutuhan". Musik diharapkan memenuhinya, meski dalam
bentuknya yang paling syahdu sekalipun.
Saya
mencoba mendefinisikan musik. Secara definitif musik itu ialah suatu komposisi
bunyi yang memiliki tempo ketukan, variasi nada, dan warna suara yang harmonis
serta beraturan. Musik mengajarkan "tempo" pada manusia, mempengaruhi
intuisi yang pada akhirnya cenderung membentuk karakter sigap-tidaknya
seseorang---meski tidak mutlak. Aksen cepat-lambat. Menjadi suatu keharusan
bagi saya, sebuah musik, untuk wajib minimal memiliki dua nada berbeda dalam
komposisinya. Dalam perspekif saya, satu nada yang dimainkan secara mendatar
terus-menerus belum dapat dikatakan sebagai musik. Meskipun mungkin jika anda
hidup berkecimpung di musik akan berpendapat sebaliknya. Misalnya,
"Asalkan memiliki tempo, meskipun hanya satu nada yang dimainkan secara
mendatar---ialah termasuk musik". Namun soal warna suara, satu sudah
cukup. Jika terdiri atas berbagai warna suara dia harus berharmoni sebagai
tanda keteraturan.
Tentunya,
lagu dan musik amat berbeda. Jika lagu, maka akan memiliki syair sedangkan
musik tidak. Syair berima pada bentuk tradisionalnya yang semakin tak berima
pada masa kontemporer. Bahwa dalam sebuah lagu akan selalu ada pesan yang ingin
disampaikan. Baik si penyayinya berdiri sebagai orang pertama, kedua, atau
ketiga. Sebuah lagu tidak hanya mengharmonisasikan satu warna suara alat musik
dengan warna suara lain. Lebih dari itu, musik itu sendiri harus
diharmonisasikan dengan syair dalam satu tubuh. Sampai hari ini saya masih
meyakini, sebenarnya "jiwa" sebuah lagu ialah justru lebih pada
liriknya itu sendiri daripada musiknya. Musik adalah bagian "raga",
hanya sebagai pengiring. Sudah barang tentu sifat jiwa lah kekal abadi, raga
tidak. Syair si pujanggalah yang memimpin musik dalam uninya, bukan sebaliknya.
Ya, mungkin kebanyakan penulis lagu merupakan pujangga---hasilnya lagu cinta.
Syair lagu sanggup berdiri sendiri tanpa musik. Namun musik, tak dapat berdiri
sebagai sebuah lagu tanpa rohnya---syair. Jika demikian hanya dapat disebut
instrumen, bukan lagu. Tanpa rohnya, bukan juga mayat hidup lah.
Well,
supaya tidak boring saya sambil putar lagu boleh ya.
"Vakansi",
by White Shoes & The Couples Company.
"Oke,
mari berbicara lebih lanjut....."
Cara
sebuah lagu disampaikan kian variatif---dikemasnya dan kemasanya juga
terkemasnya. Ibarat toko kelontong, seorang konsumen akan tak hanya melihat
bahwa dalam bungkus sebuah produk yang dibelinya terkandung percikan
"image" barang itu sendiri. Lebih dari itu ia akan juga mencitrakan:
tokonya, penjualnya, pemiliknya, kualitasnya, pelayananya, attitude, sanitasi,
harga, sampai justifikasi sosial, dsb. Begitu juga lagu, "citranya"
lebih dari sekedar lirik dan musik. Mata-mata kita tersedat pula pada percikan:
penyanyinya, genre-nya, komponisnya, pengiringnya, fashion, style, attitude,
dekorasi panggung, konsep dan pamor acara, suasana, video clip, cara menonton,
segmen penonton, budaya, dsb. Jauh lebih dari itu, sebuah "ost." akan
begitu lekat tercitra atas suatu film, atau sebaliknya. Tergantung sebuah lagu
itu berangkat dari film, atau film yang beradaptasi ke lagu. Bercak imaji AADC
dengan "Bimbang" gubahan Melly, boleh jadi contoh kecil tentang
"citra" itu.
In
my sight, "A song is like a rainbow". Sebuah pelangi, yang muncul
setelah kemarau setahun diguyur hujan sehari. Teduh. Memandangi langit
berhiaskan pelangi setelah-sembari hujan rintik-rintik sangatlah romantis.
Wajah anggun si embun pelangi itu baru saja bersolek, me-ji-ku-hi-bi-ni-ung.
Sambil berharap, cahaya akan tanpa henti menyinarinya---sebuah harap masa depan
warna-warni. Sisi cerah. Warna-warni, banyak warna yang menjadi satu.
Barangkali kebahagiaan versi "relatif" yang ditafsir berbeda-beda
bersama perdebatan basinya itu pun seperti pelangi. "Bukankah pelangi itu
indah karena berbeda". Ketahuilah, tiap-tiap warnaya mewakili satu
"citra". Lalu manusia-manusia berdosa jatuh hati pada salah-satu atau
salah-dua dari mereka. Seperti itulah juga kiranya, kebahagiaan yang dihasilkan
musik.
For me, "The world is never beautiful without colours".
Tanpa
warna-warna.
Lawan
berwarna itu bukanlah putih atau hitam.
Tapi
bisa jadi tak berwarna itu "bening" atau "kosong".
Adanya
akan membuat mata sulit membedakan benda. Tiada gelap-terang.
Kadang
manusia menikmati suatu lagu dalam imaji dua-tiga citra, lima-enam citra,
tujuh-delapan citra, atau bahkan puluhan citra. Uniknya cara manusia menikmati
lagu sangatlah terdiferensiasi. Usut punya usut, memangnya sisi apa yang
membuat lagu dapat dinikmati. Seorang Dan mungkin dapat saja menikmati single
"Burung Camar" hanya karena alasan sesederhana, pelantunya ialah Vina
panuwinata dengan jenis musik pop yang agak jazzy. Dengan dua nisbi saja, alias
dua citra yang terkonstruksi dalam alam bawah sadar, bagi seorang Dan sudah
sangat cukup untuk merasai lagu mencapai titik klimaksnya. Cukup menjadi alasan
untuk berbahagia melalui sebuah lagu.
Berbeda
dengan Dan, seorang Cok yang perfeksionis penuh idealisme akan sangat berkaca
pada segala diskursus tentang seni dan pakem-pakem didalamnya. Dia mungkin akan
memperhatikan setiap detail per satuan, "citra-citra" di atas---tanpa
terlewatkan. Biasanya jenis orang seperti ini akan mematok preferensi yang
teramat tinggi, dan tak sekedar berkesenian. Terkesan hanya pada
kualitas-kualitas. Memandang dari ribuan perpektif, lebih dari sekedar
penerimaan atas "relativitas" yang membabi buta---serampangan. Mereka
menikmati seni dengan caranya sendiri, penuh prinsip-prinsip, kerap tampak
justru keluar dari identiknya seni terhadap "kebebasan". Bagi Cok,
kebebasan dalam seni bukanlah hal yang dapat diartikan sepenuhnya berantakan.
Atau sepenuhnya tersekat-sekat dalam aturan-aturan yang membuatnya terkekang tanpa
gerak. Perihal artistik itu "diantara keduanya", di pertengahan.
Mesti saja, mereka mengklaim berprinsip, "Tak hanya hidup dari seni, tapi
hidup untuk seni". Selain dihidupi seni, juga menghidupi seni. Sehingga
karena tingkat gairah plus kecerdasan seni tingkat master itu, membuat seorang
seniman khususnya musisi akan cenderung memberikan terapi berbeda, hanya untuk
mereka terapresiasi sekaligus mengapresiasi.
Art
is expression of freedom. Keindahan tak tampak tanpa kebebasan, keindahan tidak
dapat dinikmati dalam tekanan. Sangat tidak nyaman menjalani sesuatu setengah
hati. Seni mengajarkan kita kebahagiaan penuh. Melakukan tindakan dalam term,
"Just follow your heart, even if it freak". Seolah, menuntun dalam
mendobrak segala yang membatasi dirinya sendiri, untuk
berbahagia."Berdamai dengan diri sendiri", menjauhi keputusasaan.
Menyelamatkan keyakinan dari cengkraman keragu-raguan terhadap keterikatan hati
pada benda-benda, sesuatu yang selalu dijauhi intuisi. Saya paham benar,
seseorang tanpa gairah seni lebih sering hidup dalam kebosanan. Saya tak yakin
mereka akan punya banyak kisah menyenangkan di hari tua, hobi hidup dalam
tekanan. Lebih sering miris saat mengingat masa mudanya. Bagi saya, dan apa
yang saya alami, seseorang dalam keragu-raguan tak pernah bisa menikmati lagu
secara sempurna.
Seorang
Cok tadi, biasanya hanya sebuah bentuk perkawinan antara kebebasan seni dan
logika---yang serba terbatas-batas, terkotak-kotakan. Suatu seni, termasuk
musik, setahu saya hanya dapat dinikmati dengan rasa "cinta".
Sedangkan cinta itu bahasa hati, bukan rasionalitas akal. Cinta sering tidak
rasional, kan?. Para filsuf menalar rasio, "Logika tidak bisa
menggabungkan dua hal yang bertentangan---dikotomis, tapi cinta bisa".
Logika beroperasi secara teratur dan sistematis, cinta cenderung berantakan.
Kembali pada penegasan Cok sebelumnya, mungkin "diantara keduanya".
Andaikata
Saya katakan, "Dian Sastrowardoyo sangatlah cantik, tapi Anda menilainya
buruk". Sepertinya Anda perlu periksa mata, mungkin Anda rabun. Kalau saja
kita buat leveling sederhana, saya menghakimi di angka 99 tapi anda mematok 20,
misalnya. Bagi seorang Cok, ini menjadikan Anda terlalu jauh berbeda bukan
karena relativitas, "Tapi Anda goblok".
Bahkan
dalam kebebasan pun ada ukuran-ukuran, semacam kadar limit---termasuk soal
keindahan. Indah dan tak indah, ini sempurna dan itu cacat. Yang menjadikan
sesuatu cukup pantas untuk disebut indah. Juga cukup pantas untuk disebut
cacat. Seni menghargai kebebasan, karena itu membedakan manusia dengan karapan.
Kita bukan domba-domba dengan tali kekang atau monyet dalam pasungan. Kita
berpikir dan memiliki rasa seni, membuat kita berkarya. Bicara musik,
seharusnya memang bukan masalah pintar dan tidak pintar. Tapi, ini soal suka
dan tidak suka, juga senang dan tidak senang. Namun saya ingin bertanya,
"Dalam segalanya ornamen fana, apa yang tidak dibatasi?".
Bahkan
manusia itu pun dibatasi, malah penuh keterbatasan. Ketidakmampuan mencapai
segala yang diinginkan, membuatnya sering jatuh putus asa. Keputusasan yang
perlu didobrak dengan kebebasan itu, yang bergantungan pada tali
"harapan" milik kebahagiaan. Keputusasaan itu sumber kesedihan,
penyesalan yang semua orang pernah mengalaminya. Ya jika tidak sepenuhnya,
sebagian besarnya. Saya yakini pula, "Keputusasaan itu pasungan",
yang selalu diawali penyesalan kecil.
Lantas,
apa itu kesedihan?. Baik, saya coba mengulik satu dari sekian ribu jawaban.
Ketahuilah, manusia seringkali dihinggapi keinginan berlebihan. Nah yang saya
pahami, "Kesedihan hanyalah keinginan terlalu tinggi yang tidak sesuai
realitas". Lalu manusia merasa terbani dosa besar karena melakukan
kesalahan. Tidak mampu mencapai apa yang seharusnya dicapai, "dalam
pandanganya". Melakukan kesalahan merupakan hal wajar, manusia mencoba
banyak hal.
Apa
solusinya?. Jika manusia mengalami kondisi yang tidak sesuai pandanganya,
rubahlah kondisinya. Jika gagal, maka rubahlah cara pandangnya terhadap kondisi
tersebut. Kodrat manusia adalah hidup dalam keterbatasan, saya pun menerimanya
dengan lapang dada. Dengan kata lain, jika keinginan yang terlalu tinggi masih
jauh sesuai dengan kenyataan, maka turunkanlah keinginanya---sesuaikan pada
relita. Berdamai dengan diri sendiri. Atau jika saran itu cukup salah,
pertahankan keinginan itu sambil tak mengesampingkan lagi-lagi, "Berdamai
dengan diri sendiri". Bukan juga lari dari kenyataan, tetap berjuang.
"It's qona'ah", merasa cukup. Dunia beserta seluruh isinya tidak
pernah cukup memenuhi nafsu satu manusia. Manusia sangatlah serakah, tamak.
Nah
penyesalan adalah masalah persepsi, yang salah. Penyakit emosional. Nah lagi,
yang saya sadari musik atau sebuah lagu biasanya dapat membuat manusia
"sejenak lupa" pada penyesalanya. Alih fokus, semacam amnesia
temporer. Tugas musisi sebagai insinyur emosi alias tukang persepsi dalam hal
ini ialah menyulut manusia untuk "sejenak lupa". Jika laksana ahli
farmasi, fungsi musisi meracik obat guna ditabur demi menyejukan qolbu-qolbu
prihatin. Penyanyi adalah dokternya. Tapi, jika anda seeorang sufi itu bukan
obat yang baik---bukan saran sempurna. Saya tidak tahu persis, saya hanya
menduga.
Barangkali
keterbatasan juga merupakan satu ragam anugerah. Yang membuat kita dapat
berlaku rendah hati sekaligus rendah diri dihadapan Tuhan. Yang dalam
situasi-situasi sulit campur tangan-Nya dibutuhkan. Nun dimasa lapang, Dia
dilupakan. Manusia sungguh plin-plan, penuh kemunafikan. Naif. Jika masih
diciptakan, a creation, segala yang berkorelasi padanya tak sempurna. Camkan,
"Karya manusia tak pernah sempurna". Keterbatasan telah dan masih
akan menghasilkan banyak kesalahan. Menyadari kita benar-benar tidak sempurna,
bahkan sajian-sajian indah seni-musik itu pun. "Let's make better mistakes
tomorrow". "Sebab ada keterbatasan, maka ada ketidakterbatasan".
"Dalam
seni pakem dan prinsip wajib tetap ada. Bukti peradaban, manusia mahluk
beradab".
"Saya
juga percaya seni indikator peradaban....."
"In
freedom, boundary does exist......"
"Hal
paling bodoh dari relativitas adalah saat seseorang menganggap lolipop sebagai
kontol dan kontol sebagai lolipop....."
Entahlah,
mengapa seseorang lebih tertarik pada suatu hal sedang tidak pada yang lain.
Akhirnya manusia merasa mendapati kebahagiaan karena mencintai satu-dua warna
saja. Mungkin juga, sambil atau tanpa membenci yang lain. Beberapa logika
berkoar, "Itu bukan kebahagiaan purif, itu nisbi". Ya, nisbi,
semuanya hanya soal "selera". Memang, bahagia dan nisbi itu beda
tipis. Bukan berarti tidak ada manusia yang dapat mencintai semuanya, warna-warni
itu. Bukan seperti cinta yang setengah hati, hanya saja biasanya mereka harus
melewati semacam arogansi satu-dua warna sebelum menjalani
"pencerahan" demi menjadi pribadi multiwarna. Yang dapat
"menikmati" semuanya.
"Everybody
like music”. Atau bisa dikatakan hampir tidak ada orang yang tidak
menikmatinya. Setiap denting, alunan nada, harmoni syair, selalu menyihir
setiap orang yang mendengarnya. Sadarlah, itu karena prasangka baik, hasilnya
kebahagiaan. Kalau berprasangka buruk terhadapnya, takkan ada kebahagiaan. Intuisi
kita menggandrungi itu, we were addicted. Meski, itu hanyalah sekedar
kenikmatan persepsi.
Bahkan
seseorang sedang patah hati yang menganggap cinta itu buta pun masih dapat
merasakan setitik kedamaian dan rasa senang, jika dia mendengarkan musik. Setidaknya
sekedar mengobati luka untuk beberapa persen rasa sakitnya, sejumlah kecil.
"Ya, cinta mungkin buta, tapi cinta masih bisa mendengar".
Bagi
saya, "Sesungguhnya indahnya lagu hanya kenikmatan imajinatif".
Sejauh yang saya tahu, semakin jauh imajinasi anda, hal itu semakin menghujam
jantung. Dan rasanya tergantung prasangka anda. Dan ketika anda mulai bosan,
artinya imajinasi anda mulai buruk. Saya sangat percaya kekuatan berpikir
positif. Bahkan kekuatan berpikir negatif, meski hanya sebagai proses menentukan
pilihan.
"Berprasangka
baiklah, prasangka buruk adalah pangkal dari segala kejahatan....."
Dalam
suatu kebahagiaan hasil musikalitas artistik yang memiliki berbagai struktur
dan komponen tersebut, jika anda bertanya mana yang paling esensial?. Ibarat
rumah, mana pondasinya?. Menurut saya, primernya jenis-tipe-bentuk lagu dan
yang kedua penyanyinya. Lainya sekunder dan tersier. Dan dari keduanya
tersebut, penyanyinya lah lebih penting. Saya tidak mengatakan esensi lagu
tidak penting. Racikan lagu sangatlah penting, hanya saja penyanyinya lebih
penting. Pernahkah mendengar, "Not the gun, but the man behind the
gun". Lebih dari itu, kecocokan keduanya menentukan kesan yang terbangun
saat ditampilkan---performance effect. Karakter keduanya merupakan komposisi
karakter adesif. Sebuah potret dalam satu bingkai, yang tak dapat dipisahkan.
Tell
to the world, "The best singer without the best song was like a bird
without wings".
Bincangan
lain, bagaimana tentang sosok penyanyi yang patut dianggap ideal. Ya, penyanyi
sangatlah utama dalam suatu pentas kecil atau konser spektakuler show. Semua
audien biasanya akan terlalu "menyediakan" fokus lebih kepadanya.
"Sedia" bukan "sisa". Persentase sudut pandang akan lebih
besar kepadanya, sisanya partisi lain: esensi lagu, gitaris, drumer, pianis,
dekorasi, kualitas sound, kostum, dsb. Dengan fasilitas standar, standar saya
katakan, dengan skill emas penyanyi (mengacu pada "kualitas suara"
manusianya secara harfiah), sebuah show akan sangat mengagumkan. Ibarat negeri
dia rajanya, ibarat bus dia sopirnya, ibarat rumah dia pondasinya, ibarat
tubuh dia jantungnya. Penyanyi merupakan subjek paling utama dalam sebuah
pertunjukan. Berlian paling seksi diantara semangkuk intan permata. Dan warna
paling cerah dari pelangi, analogi citra kebahagiaan relatif tadi.
Sudah
seharusnya, seorang penyanyi adalah orang yang ahli berkomunikasi. Memiliki
kecerdasan linguistik diatas rata-rata. Sebab tugasnya menyampaikan
sesuatu---pesan. Juga secara minimal mencintai sastra, pesanya lah
kalimat-kalimat kasusastran. Mengerti tata bahasa: tentang klausa, diksi,
majas, juga ahli beranalogi. Secara fundamental mengerti perihal body language:
eye contact, mimik, intrapersonal soul, interpersonal feeling, exactly having a
sharp "intuition", overall having nice attitude. Dan yang wajib pula
yaitu self-confidence, sedikit arogansi karismatik---dalam kebijaksanaan.
Sejauh
yang saya pahami, dalam hal prasyarat yang paling sulit dipenuhi bagi seorang
penyanyi yaitu, "Penyanyi wajib merasa senang". Ketahuilah,
"Senang itu menular", begitu pula sedih. Ketika manusia berkumpul
bersama orang-orang sedih, dia "cenderung" sedih, dan sebaliknya.
Sedang yang saya sadari, "Saya tidak bisa menyenangkan orang lain saat saya
tidak senang". Kecuali saya berpura-pura senang pada anda, menipu diri
sendiri. Yang biasanya atas nama profesionalitas musisi melakukan itu. Akhirnya
musisi bermain dalam keragu-raguan dan rasa was-was. Mengerjakan sesuatu dalam
emo malas atau tergesa-gesa. Rasa senang itu bisa jadi seperti
"senyum", yang akan tetap menuangkan sejentik kesejukan, sekalipun
dihibahkan kepada musuh. Ibarat kopi, "Kopi yang diseduh dari hati,
manisnya sampai ke hati". Tidaklah air suci itu muncul, kecuali dari
sumber yang suci. Keindahan datang dari keindahan.
Sebelumnya
saya tekankan, musik itu entertainment alias suatu hiburan. Tujuanya ialah
kebahagiaan. Sekalipun itu lagu paling sendu sepanjang sejarah umat manusia,
tujuanya sama---kebahagiaan. Kebahagiaan secara paling sederhananya wajib
mengandung unsur: ketenangan, harapan, dan rasa aman. Jika ada seorang musisi
yang berkarya untuk menyedihkan orang, seharusnya dia jadi pelawak. Lalu
bagaimana dengan lagu religi?. Begini, boleh dikatakan seringkali, seseorang
yang mendengarkan lagu religi akan tampak sedih. Teliti pada diri anda sendiri,
saat sedang mendengarkan dalam gandrung anda, setidaknya anda mendapati
"salah satu" unsur itu. Saat manusia mulai syahdu dan menangis pun,
anggap saja misalnya sedang meratapi dosanya, lalu merasa "tidak
aman" dari neraka jahannam, selanjutnya merasa risau---"tidak
tenang", they still remain at least "a hope".
Duh
sekalipun manusia itu memikul seluruh dosa umat manusia, hasilnya sama. Namun,
itu tidak dijamin pada kondisi abnormal. Saat manusia mulai tidak waras.
Dalam
ketakutanya, manusia masih punya "harap" pada Sang Pencipta. Tuhan
dan ajaran kenabian masih memberi ruang kebahagiaan bagi anak adam dalam
titiknya yang paling syahdu sekalipun. Menyisakan sebuah "harapan". Harapan
kecil yang memberi kita alasan untuk tetap hidup meski berdosa---gagal dalam
"keterbatasan". Obat keputusasaan kawan. Sambil menitikan air mata,
manusia tetap patut berbahagia saat menikmati musik religi. Sembari tanpa henti
percaya, bahwa Tuhan masih punya maaf.
Bahkan
seorang satanis yang menyembah setan sekalipun, dalam menyanyikan lagu-lagu
pujian sambil memuja-muja setan dalam ketelanjangan, anggap saja jika dia tidak
mendapati "rasa aman" dan "rasa tenang", percayalah dia
juga masih memiliki harapan. Sekali lagi, harapan menjaga manusia tetap hidup.
Walau-walau mereka meletakan harapan ditempat yang salah, harap yang pasti
pupus. Kebanyakan manusia kecewa hanya karena terlalu berharap pada manusia,
dan yang lebih tolol kepada setan.
Sudah
seharusnya musisi bermusik dengan hati, termasuk penyanyi. Saya kira faktor
keterlibatan hati sangat penting didalam melakoni sesuatu. Mengapa hati?,
karena segala yang muncul dan tumbuh dari dan dengan hati itu: suci, murni,
tulus ikhlas, dan pasti indah (sebagaimana seni). Dalam falsafah yang saya
yaqini juga apa yang telah saya alami, "Tidak semua hal luar biasa itu
lahir dari logika".
"Kadang,
logika itu cacat...."
Bagaimana
ciri-cirinya bahwa seorang musisi memiliki kehadiran hati pada ruhnya. Dia
tidak secara laten terikat pada benda-benda, atau terkekang oleh ide
kebendaan yang membabi buta, membatasi kebebasan hati naluriah. Ini sedikit
menyentuh aspek hubungan seorang musisi dengan alat musiknya, ketika memainkan.
Sederhananya, seorang penyanyi dalam menyanyi, seharusnya tidak dibatasi oleh
pita suaranya. Seorang gitaris tidak dibatasi oleh jari-jarinya. Seorang drumer
tidak dibatasi oleh stik dan pedal kaki. Bukan segala fitur benda-benda itu
yang memimpin hati, melainkan sebaliknya---hati memimpin mereka. Mereka
menuruti sekaligus memenuhi permintaan hati. Mereka bergerak karena hati
bergerak. Bukanya hati bergerak karena material itu bergerak. Atau bahkan
material itu bergerak, namun justru hati sama sekali tak bergerak---mati.
Ciri-ciri
lainya, musisi akan lebih fokus pada hati, intuisi, perasaan, keinginan murni,
tujuan keindahan, sambil bisa dikatakan hampir "tidak menyadari"
keterbatasan benda-benda material tadi. Musisi merasa senang ketika bermain
karena dia tampil dengan prasangka baik, akan tampak pada wajahnya raut muka
tulus bersahaja. Baik pada musisi klasik sampai rock sekalipun. Not-not atau
nada-nada dibunyikan tanpa tekanan emosional, alamiah. Not dan nada itu
semestinya berbunyi sesuai apa yang beralun dihati, dimana direfleksikan lewat
alat-alat musik. Tidak ada sikap kik-kuk, bebas.
Ibarat
hati adalah turntable, maka alat-alat musik itu ialah phono amlifier, sedang
dampak suara itu sendiri merupakan speaker. Jika si musisi bermain sambil
membaca not balok, maka script itu bisa jadi vinyl, sedang niat manusianya
merupakan jarumnya. Nah, fungsi ini bukanya terbalik-balik, tertukar-tukar,
salah kaprah. Saat tertukar, misalnya alat musik mencerminkan turntable dan
hati jadi amplifier, maka seni terbaik jadi berantakan. Ini yang saya maksud
dibatasi-terbatasi tadi. Akhirnya, proses berhati sedemikian rupa menghasilkan
kenikmatan dari cita rasa orisinil si musisi. Kebahagiaan pribadi (dalam
relatifitasnya) yang dicinta pemusik itu seolah ikut tersampaikan.
Tanpa hati, seseorang sulit menjalani sesuatu. Mungkin bisa, tapi tidak cinta. Seseorang bisa menghasilkan karya sesuai pesanan, bahkan melebihi kualitas yang diharapkan, tapi mereka tidak menikmatinya sepenuh hati. Menurut banyak survey yang pernah saya dengar, hampir 50-70 persen manusia bekerja tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan---hal yang mereka cintai. Mereka tersiksa di tempat kerja, hidup penuh keterpaksaan. Itu derivasi nilai yang dapat diambil dari kasus ikan dan katak. Bagi ikan, air ialah dunianya, tempat dimana dia bisa bersenang-senang. Kita tidak dapat memaksanya menjadi amfibi layaknya katak. Mungkin bisa. Dia akan tetap girang di air, di darat dia tersiksa.
Tanpa hati, seseorang sulit menjalani sesuatu. Mungkin bisa, tapi tidak cinta. Seseorang bisa menghasilkan karya sesuai pesanan, bahkan melebihi kualitas yang diharapkan, tapi mereka tidak menikmatinya sepenuh hati. Menurut banyak survey yang pernah saya dengar, hampir 50-70 persen manusia bekerja tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan---hal yang mereka cintai. Mereka tersiksa di tempat kerja, hidup penuh keterpaksaan. Itu derivasi nilai yang dapat diambil dari kasus ikan dan katak. Bagi ikan, air ialah dunianya, tempat dimana dia bisa bersenang-senang. Kita tidak dapat memaksanya menjadi amfibi layaknya katak. Mungkin bisa. Dia akan tetap girang di air, di darat dia tersiksa.
Persis
adagium, "Do what you love and love what you do".
Saya
kira, salah satu syarat seseorang dapat mengerjakan sesuatu dengan sempurna
ialah, menyenangi pekerjaan tersebut.
Kebanyakan pekerjaan yang tidak diselesaikan dengan baik, umumnya karena manusia menganggap tugas itu tidak penting. Sehingga layak diabaikan. Alasan terburuknya, malas. Saya kira tidak demikian pada hal-hal yang mereka cintai. Manusia selalu takut akan kehilangan sesuatu yang mereka cintai. Akhirnya mereka memperjuangkanya.
"Saat kita kehilangan segalanya, hal kecil menjadi sangat berharga".
Kebanyakan pekerjaan yang tidak diselesaikan dengan baik, umumnya karena manusia menganggap tugas itu tidak penting. Sehingga layak diabaikan. Alasan terburuknya, malas. Saya kira tidak demikian pada hal-hal yang mereka cintai. Manusia selalu takut akan kehilangan sesuatu yang mereka cintai. Akhirnya mereka memperjuangkanya.
"Saat kita kehilangan segalanya, hal kecil menjadi sangat berharga".
Seorang
penyanyi yang cukup "baik", lebih rendah dari "sempurna",
tidak menyanyi secara fals. Mengapa menyanyi fals dilarang, sebab fals adalah
penyakit bagi penyanyi yang menulari kenikmatan musik secara keseluruhan.
Namanya saja orang sakit, mendengarnya menyanyi bukanya senang malah sakit. Ya,
itu sedikit dalih yang tidak masuk akal dari saya. Jika anda bertanya bagaimana
hukumnya fals bagi seorang penyanyi?. Seorang maestro tentu mengharamkanya,
musisi dungu menghalalkanya, "Bagaimana dengan saya?". Sebagai
seorang penikmat yang mencoba menjadi pengamat, saya ambil aman saja, hukum
fals itu makruh. Benar, anda tidak akan berdosa karena bernyanyi fals, ini
tidak ada hubungannya dengan fiqh manapun. Jangan dianggap terlalu seriuslah,
toh ini bukan fatwa ulama.
Ini
baru yang masuk akal, dari definisi yang lalu musik itu wajib bersifat harmoni,
harmonis. Harmoni bermakna keselarasan, berarti berjalan beriringan, berjalan
bersama-sama. Ibarat rantai pada sepedah, sedang sepedah itu sendiri ialah
karya musiknya. Rantai pada sepedah itu sudah seharusnya berputar dan berjalan
dengan selaras. Akor-akor musik dibunyikan dalam tempo dan notasi yang tidak semrawut. Semuanya selaras, dalam satu derap. Coba pikir, bagaimana jika satu partisi rantai tiba-tiba mencelat lepas dari ketersambunganya. Semua rantai lepas, ikatan partisi lainya tidak berguna, sepedah tak bisa jalan. Sejentik fals, merusak estetika lagu secara keseluruhan.
Jadi
seseorang dengan suara fals, harusnya berpikir ulang untuk menyanyi di depan
umum. Saya sama sekali tidak melarang siapapun bernyanyi. Itu hak setiap orang,
and it's not my bussiness. Tidak ada larangan disini, ini hanya saran. Bagi
saya, untuk menyanyi di depan umum dibutuhkan kualifikasi. Dan seseorang dengan
suara fals sangat tidak pantas. Itu seperti meletakan sampah tidak pada tempat
yang seharusnya, merusak estetika kota. Jika anda bersikeras tidak setuju
dengan pandangan saya, hanya membuat saya semakin yakin. Itu pasti menandakan
bahwa kualifikasi anda sangat rendah, tidak berkualitas. Lalu anda takut
bersaing, tepatnya tersaingi.
Meski
saja ada fals yang dapat ditolelir, tentu dengan berenteng-renteng segala
bentuk klausul yang membubuhi. Mungkin jika ditulis dalam draft, itu sepanjang
1 Km---sedikit berlebihan. Contohnya saja, Slank, band dengan jutaan fans
fanatik. Meski suaranya fals, jujur saya sangat terapresiasi ketika seorang
Kaka diatas panggung bersama sebuah mic, rambut berantakan, dan teriakan yang
khas ala parlemen jalanan berjiwa rock and roll---katanya. Secara sosiologis
band yang satu ini memang fenomena yang lain, unik. Meme umumnya, "Apapun
band-nya, Slank benderanya", Slank gak ada matinya.
Buktinya
dikaset suaranya harmonis?. Yah, di jaman semodern ini, apa sih yang tidak bisa
di manipulasi kalau hanya hal sesepele itu. Teknologi sudah sangat canggih
boos, mungkin itu juga salah satu bentuk penyalahgunaan---mencederai seni.
Seperti yang saya sudah katakan sebelumnya, rata-rata energi sebuah pertunjukan
akan lebih terfokus pada citra penyanyinya, yang bahkan hampir-hampir cenderung
lebih adesif pada nama band itu sendiri. Ketika kita mendengar nama band
tertentu, seketika dari sisi personil, penyanyinya yang paling dingat---lainya
tidak penting. Saran saya, jika anda memiliki band dan ingin reformasi
personil, "Anda boleh bongkar-pasang pemain siapapun dengan kualifikasi
minimal sama atau lebih baik, kecuali penyanyinya". Ini bukan masalah
keberpihakan yang pilih kasih. Saya berusaha menyentuh hal yang lebih esensial
dari itu, "Ini tentang ikatan batin antara musisi dan penggemar".
Biasanya manusia memiliki kenangan-kesan pribadi pada sebuah lagu lengkap serta
warna suaranya, si penyanyi. Walau-walau Dewa tetap jalan tanpa Ari Lasso atau
Once, buktinya, Ariel dan Sammy tetap eksis tanpa Peterpan dan Kerispatih.
Terlepas dari isu antek Yahudi Zionis atau kasus video porno dan Narkoba. Saat
komposisi fundamental seni berubah, cita rasa esensialnya hampir total berubah.
Nah,
dalam hal fals ini, biasanya masyarakat akan cenderung memberi maaf atas
kesalahan seni dengan penggemar masif---sedikit dipaksakan. Lebih dari itu,
saya pribadi dan mungkin khalayak banyak menaruh kekaguman atmosfir yang
kembang saat anak-anak Slank beraksi. Bahwa ada karisma yang melankolis,
jantan, menggugah emosi, liar, bijak, dan aneh mungkin. Itu berkecamuk, susah
diungkapkan tapi bisa dinikmati. Selain gaya petakilan, slengek'an,
blak-blakan, mungkin ada riwayat yang bisa dikenang dari sejarah masa silam
Slank. Sesuatu yang dapat di anut, minimal oleh the dark world's society:
Alkohol, Free sex and Narkoba. Dimana hari ini bentuk titik balik mereka bebas
dari itu semua, lalu banyak menyuarakan "peace" dan gerakan anti
kesesatan itu semua, menebar pesan positif. Ini tentang bagaimana seharusnya
menjadi manusia. Beberapa aspek yang memberi alasan masyarakat
"memaafkan" Slank, melihat dari sudut pandang lain. Lagi, Kaka
bernyanyi dengan hati bung.
"Jika
seseorang memiliki karisma sekeren Slank, lantas dia bernyanyi fals,
mungkin orang
akan cenderung memaafkan dia", mungkin.
Lalu
ketika orang berubah pikiran dia bergumam,
"Tidak
ada yang salah dengan semua ini, ini hanya salah paham".
Karir
si fals pun meredup.
Awalnya
biasanya berdalih, "Buktinya Kaka fals banyak penggemarnya?".
"Iyaa,
masalahnya lo bukan Kaka....."
Dalam
kasus ini band dengan gaya "sangar" biasanya hanya dapat tumbuh dalam
sistem masyarakat yang lebih maskulin daripada feminis. Meskipun industri musik
kali sekarang, Indonesia, sedang menggandrungi feminisme sambil mengidolai
cowok-cowok berkulit cantik, mata sipit, hidung mancung, bicara super lembut,
dan hobi lemah-gemulai jika nyanyi sambil menari balet. Sekarang jamanya boy
band. Preman pasar Senen akan menyebutnya bencong lebay, gankster remaja yang
terobsesi Genji menyebutnya alay. Dan kita merasa senang-senang saja menikmati
budaya yang dijajah. Koreanisasi pasca Westernisasi. Prediksi selanjutnya
Indianisasi mulai berkembang lagi mbah, mungkin ketiganya lantas bersaing.
Pendapat seperti itu tentu tidak sepenuhnya benar. ya, konsekuensi globalisasi,
akulturasi. Dan masih banyak lagi kriteria yang sudah sewajibnya melekat pada
penyanyi dengan label "ideal".
"Ideal
bagi X belum tentu ideal bagi Y". Nisbi lagi.
"Banyak
manusia tidak sepaham dalam banyak hal, berselisih".
"Terutama
orang pintar dan orang tolol, mereka selalu bermusuhan".
"Yang
membuat mereka tetap rukun, hanya toleransi"
Tapi
sebentar, ada yang lebih lucu terkait dengan media, acara-acara show televisi
yang memuat produk musik masa kini. Sebagaimana yang kita pelajari dalam ilmu
sosial, khususnya major of communication, spesifiknya propaganda, media
berperan besar dalam perkembangan: adab, budaya dan bisnis. Kita tahu, seorang song
writter akan berusaha menulis sajak seanggun mungkin. Musisi, produser,
komposer pun demikian: bekerja sekeras mungkin demi karya fenomenal monumental.
Sayangnya para raja media melecehkan mereka. It's look like they not qualified
to perform. Ibarat petani, jika item-item: CD, RBT, Vinyl merupakan benih, lalu
outlet dan toko-toko retailer ibarat sawah, artinya media adalah air dan pupuk.
Disanalah pengaturan irigasi untuk sawah yang digarap berkongsi-kongsi itu.
Akhirnya, pundi-pundi rupiah yang ibarat bulir-bulir beras pun dipanen.
Masalahnya,
semua energi yang dicurahkan para musisi siang-malam bekerja-berlatih
terus-menerus mengorbankan waktu yang demikian mahal supaya perfect saat
perform, akan sia-sia. Saat, mereka tampil di acara musik TV sebelah,
"Bangsyat" dan "Outbox", dimana ketika mereka didepan
kamera, yang mereka lakukan tidak lebih hanya lip-sing. Itu lucu, untuk apa
mereka punya skill, talent, musikalitas keren, kalau takut tampil berantakan.
Mungkin orang awam akan menerima begitu saja, tapi tentu tidak bagi banyak
smart society. Bagi cendikiawan, dan apa yang banyak saya dengar pada
lingkungan kaum terdidik, menonton seni dikamuflase dan dibuat-buat sangat
menggelikan sekaligus jenuh. Lebih jauh dari itu, fakta bahwa masyarakat tau
bahwa uforia audiens yang klise kadang karena dibayar. Apalagi, dengan
presenter yang konyol, kadang menampilkan bencong, lawakan garing, obrolan
murahan berbau sex, menampilkan banyak tindak asusila---semacam eksploitasi
ragawi wanita, tingkah absurd, juga suguhan seni yang tidak natural tadi.
Parahnya,
itu jadi konsumsi harian masyarakat. Membuat ibu-ibu waras khawatir akan masa
depan anaknya, kecuali ibu dengan otak terkontaminasi. Tidak ada yang lebih
indah selain menonton suatu kesenian dalam cara paling alamiahnya, bak kembali
organik menjauhi dunia makanan bersifat kimiawi. Dan budayawan serta para
kritikus dadakan itu masih bertanya-tanya, "Apa tidak ada yang bisa mereka
jual selain acara murahan seperti itu?", "Tidak adakah yang lebih
berkualitas?". Bandingkan dengan M TV, mungkin anda juga menganggapnya
tidak sempurna, tapi atmosfir chemistry yang lebih smart setidaknya ada disitu.
Yeah, nothing perfect as the world. Kita hanya perlu lebih bijak menggunakan
media. Mungkin anda juga ingin merubahnya, sayang kita bukan raja media.
"Observe
more, than think better".
"Media
seharusnya tidak hanya mementingkan estetika, tapi juga etika".
Mungkin
pada merekalah, pelopor propaganda hedonisme yang disalah-pahami, protes para
pendidik dilontarkan, "Artis dibayar mahal untuk merusak moral, guru
dibayar murah untuk memperbaikinya".
Media
hari ini bukanlah media yang dapat mendidik bangsa. Kebanyakan mereka "jualan", sambil
menghalalkan segala cara. Tidak peduli apa dampaknya bagi peradaban, business is
business, civilization is not my business. Seharusnya media memahami peranya,
mendidik manusia supaya beradab. Menjadikanya lebih bermartabat, bukanya terhina.
Menggembar-gemborkan kerja keras, tanpa kerja cerdas. Sehaarusnya artis (pekerja seni), mendobrak, label sosial bawaan "beauty without smart".
Menggembar-gemborkan kerja keras, tanpa kerja cerdas. Sehaarusnya artis (pekerja seni), mendobrak, label sosial bawaan "beauty without smart".
Wanita
biasanya jadi bumbu yang "nendang" bagi banyak acara televisi. Dengan
aurot sedikit terbuka, terkesan seksi, itu cukup ampuh mendongkrak rating. Bagi
banyak petinggi peradaban, para ahli moral, itu penyalahgunaan. Bagi media itu
inovasi. Modus marketing masa kini, sah-sah saja. Semua orang punya gairah sex,
mereka merasa dapat memanfaatkanya dalam promosi, apalagi acara musik. Bagi
beberapa penganut feminisme, itu sebuah bentuk eksploitasi jasmaniah, asusila.
Dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia, wanita, daripada lelaki, lebih
sering mengalami perlakuan distorsif memang. Yang aneh, "Lelaki
menjajahnya, kadang tunduk kepadanya". Barangkali tampak seperti apa yang
dituangkan oleh Ismail Marzuki dalam "Sabda Alam" yang entahlah siapa
penyanyi pertamanya. Yang jelas selain beliau sendiri, sajak melodis itu pernah
dinyanyikan Ebet Kadarusman, Rien Djamain, dimana belakangan di refresh dengan
beberapa aransemen dan dibawakan kembali oleh White Shoes & The Couples
Company.
Diciptakan
alam pria dan wanita
Dua
makhluk dalam asuhan dewata
Ditakdirkan
bahwa pria berkuasa
Adapun
wanita lemah lembut manja
Wanita
dijajah pria sejak dulu
Dijadikan
perhiasan sangkar madu
Namun
ada kala pria tak berdaya
Tekuk
lutut disudut kerling wanita
-Sabda
Alam-
By:
Ismail marzuki
Menghasilkan
sebuah karya musik, lagu, dapat membuat seseorang amat tersohor. Diidolakan,
dielu-elukan orang. Umumnya musisi membuat lagu memang untuk disebar luaskan,
jarang untuk dirahasiakan. Lagi-lagi peran media sangatlah dibutuhkan disini.
Lagipula banyak tidak ada gunanya juga merahasiakanya, kurang kerjaan. Toh,
membuat lagu sangatlah mudah. Buat saja sajak sederhana, lalu musikalisasi,
selesai. Anda bisa konser besok, tapi saya tidak menjamin akan ramai penonton.
Anda tidak perlu lulus dari Universitas musik ternama untuk melakukanya. Musisi
level advance membuatnya hanya dalam 15 menit, level intermediate menyelesaikanya
dalam 15 jam, para beginner mungkin 15 hari. Bahkan anak sepuluh tahunan pun
melakukanya dengan baik, tentu jika dia genius soal musik, sejenius W. A.
Mozart. Lantas bagaimana membuat sajak?. Baik, akan saya contohkan satu bait,
dengarkan baik-baik.
Safari punya pangkal pun punya ujung
Berjalan dimulai tur diakhiri
Mungkin nanti, esok, atau lusa.
Rintik di puncak itu muara ke laut.
Menghampari sampan berlarung.
Sampan di pelabuhan memang aman.
Duh bukan untuk itu sampan dibuat.
Nah,
tinggal musikalisasi saja. Itu sedikit mewakili tema non-cinta. Meski saja ada
juga metode membuat lagu dengan menciptakan notasi-notasinya dahulu, baru
mencipta syair sambil menyesuaikanya, suatu kata-kata yang responsif,
fleksibel, dapat diubah-ubah. Biasanya hasilnya sajak tidak tulus, terkesan
dipaksakan maknanya. Saya mengajarkan yang lebih anggun.
Selain
intuisi, alat yang wajib anda libatkan saat membuat lagu ialah, insting.
Sesuatu yang menurut banyak orang tidak didapat dari proses panjang penalaran
logika dan perbenturan rasionalitas. Mereka ada karena memang seharusnya ada,
itu anugerah Alloh yang Maha Bijaksana, bakat dasar sejak lahir. It's gifted to
launch a human birth. Hadiah promo karena kredit hidup, saat manusia mulai
bersedia menjalankan tugasnya, being a human. Keduanya merupakan bakat lahir.
It's common sense. Or human being it's self, which is filogenetic, that usually
constructed sociologically. Keduanya dapat menerima suatu rangsangan, dan
begerak secara reflek, kadang tidak menentu, juga sulit ditebak, tebakan yang
biasanya berupa prediksi awal, asumsi alamiah. Itulah mengapa dari keduanya,
maka membuat sebuah lagu dibutuhkan "spontanitas".
Jika
kebanyakan manusia mempersamakanya, saya membedakanya. Intuisi bagi saya adalah
perasaan, suatu kodrat fitrah yang mendilematisasi manusia tentang dua hal: apa
yang dapat diyakini dan apa yang tidak. Dia memperdebatkan "ada" dan
"tiada", secara khusus "maksimal" menjawab pertanyaan apa.
Meskipun dalam menjawabnya, apa, dibutuhkan insting. Lalu apa itu insting?.
Jika intuisi alatnya, maka insting prosesnya. Insting juga merupakan bentuk
tindakan "merasa", hanya saja sedikit lebih komplek. Sebab dia
melibatkan beberapa unsur kordinasi indrawi, mengaitkan beberapa informasi
dasar, dan analisis lebih jauh untuk mendapatkan konklusi. Kordinasi kesatuan
proses itu mengadung campur tangan hati dan akal, unsur jiwa dan raga. Intuisi
memberikan jawaban sebatas hanya pada apa, selebihnya: siapa, kapan, dimana,
mengapa, dan bagaimana---akan dijawab dengan insting. Dimana insting akan
mengaplikasikan beberapa metode analisis: kausalitas, kesesuaian teoritis,
nilai keilmiahan, dll, juga penalaran lebih panjang. Namun, meskipun pada
"apa" kadang melibatkan salah satu atau salah duanya, jenis
pertanyaan ini dapat dijawab dalam penafsiran konklusi yang take for granted.
Menerimanya begitu saja, "Just trust, don't ask!".
Nah,
seseorang dapat saja merekrut lulusan terbaik dari UI atau ITB, Harvard atau
Oxford dengan IQ 170, yang semua nilainya fully A perfect, yang lulus cumlaude
dalam waktu singkat, tapi jika dia tidak memiliki insting, selamanya tidak akan
dapat membuat lagu. Bahkan gelar Ph.D sering tidak berguna. Dalam hal
ini ijazah tidak membantu apapun. Lalu apa hal penting lain yang dapat membuat
musisi tetap eksis berkarya. Jawaban saya sederhana saja, "Ide dan
gagasan". Bahkan seseorang yang menerima Grammy Award sekalipun tidak akan
dapat mencipta lagu terjelek tanpa ide dan gagasan. Jangan melupakan insting,
naluri, ide dan gagasan, naturalisme, juga spontanitas. Insting tidak dapat
diprediksi, biarkan saja reflek mengalir. Sadarlah, beberapa hal tidak
dapat kita kendalikan. Dia akan berjalan sesuai inspirasinya. Seorang musisi
yang baik selalu terinspirasi sekaligus menginspirasi.
"Tetaplah
menjadi terkesan...."
"Dunia
tidak indah saat manusia menganggap segalanya biasa saja".
"Manusia
menjadi sombong saat menganggap segalanya biasa saja".
"Peradaban
terbaik mengajarkan optimisme, menghargai skeptisme,
tapi
melarang sinisme".
"Kekaguman
membuat hal sederhana menjadi menarik untuk dinikmati,
merubah
hal sepele menjadi penting".
Sinisme
menjadikan yang luar biasa sama sekali tidak penting. Abai. Acuh.
Dengan
terkesan, kita mendapati passion,
yang
adalah juga bumbu terbaik berkarya.
Dengan
segenap ketulusan, karya-karya terbaik akan diciptakan.
Anda
tidak dapat menginspirasi tanpa terinpirasi.
Lantas,
apa itu alat musik?. Menurut anda?.
Fakta
lainya, setiap orang pada satu waktu tertentu, jika mendengarkan suatu lagu
atau musik yang sama secara terus-menerus---tentu akan mengalami kebosanan. Titik
jenuh. Dalam filsafat kebahagiaan pun kita manusia mengenal apa yang dirasa
sebagai "titik jenuh" atau "titik bosan". Yang terjadi saat
suatu kebahagiaan mencapai titik klimaksnya. Saat semuanya terkesan monoton,
itu-itu saja. Makanlah dengan menu bakso selama setahun, jangan kau ganti, kau
akan bosan. Seenak apapun kelihatanya pada awalnya. Mungkin, yang saya pahami,
manusia lebih condong pada hal-hal unik. Sesuatu yang jarang, berbeda, sedikit,
bahkan tunggal, namun indah. Barangkali jenis keindahan itu pun lagi-lagi,
relatif. "That is not a sin to be different", asal wajar. Dan saat
segala indah yang jarang-jarang itu, segala indah yang sedikit-sedikit itu
dinikmati tanpa selingan terus-menerus, kebosanan pun datang. Lalu manusia tak
henti berburu keunikan lain yang diharap masih tersisa. Hal sama yang dilakukan
berulang-ulang, apapun itu, "cenderung" menciptakan rasa jenuh a.k.a.
bosan. Nisbi atau pun intuisi sendiri tak dapat mengakomodir solusi yang tepat,
selain beralih fokus kepada hal lain.
"Kecuali
kenikmatan sejati". Kenikmatan yang sesungguhnya, abadi.
Suatu
jenis kenikmatan yang tak lekang oleh waktu.
Itu ada. Dan itu bukan musik.
Tapi
para musisi mestinya masih dapat menciptakan karya yang setidaknya mendekati
hal tersebut, mendekati kekal. Ada banyak karya legendaris yang sejak ratusan
tahun lalu masih diputar di sudut gang-gang dunia kesenian, di lubang-lubang
telinga manusia modern. Sebut saja W. A. Mozart dan Beethoven, The Beatles,
Stevie Wonder, Michael Jacson, Whitney Houston. Ada juga Ismail marzuki,
Chrisye, Vina Panduwinata, Rhoma Irama, Elvis Presley, Elvi Sukaesih, Mbah
Gesang, Koes Plus, Sundari Sukoco, dan jutaan lainya. Yang meskipun sudah
lawas, lagu-lagunya masih nikmat didengar sampai hari ini. Dapat diterima
masyarakat multi-peradaban, kebal meskipun alih era. Tak hilang dimakan zaman.
Pada "umumnya", itu tanda kualitas. Bahwa, "Apa yang mereka
sentuh telah menjadi emas".
Karya
mereka hidup bersama jam tanpa jarum. Jam dinding. Yang meski berputar tampak
tidak menunjukan waktu yang berubah. Bukan jamnya lupa, tapi manusianya yang
lupa betapa waktu sudah berganti.
Ada
satu kata yang menurut saya begitu identik dengan para musisi. Saya tidak yakin
anda akan menemukanya di KBBI, itu mungkin sulit diakui dengan dalih tidak
baku. Tapi menurut saya bahasa itu diakui karena ada "kesepakatan".
Ya kalau saya sepakat pun anda sepakat, suatu komunikasi yang dapat dipahami
bersama maknaya, itu berarti bahasa. "Ngamen". Definisinya, mencari
rejeki dengan berkeliling mengharap kedermawanan manusia sambil menghibur
dengan suatu penampilan seni, halusnya "memaksa" manusia menukar uang
dengan musik, mengakali manusia membeli hiburan. Sedikit terkesan ambigukah?.
Untuk masa sekarang, makna tersebut bisa mengalami peyorasi atau sebaliknya.
Menurut
saya "Ngamen" itu suatu singkatan. NgaMen : Ngaji & Menyanyi.
Meski saja, nabi kita bukan musisi. Pada dasarnya infotainment tidaklah haram.
Infotainment merupakan gabungan dari kata information dan entertainment, yang
berarti informasi dan hiburan. Manusia membutuhkan informasi, tentu yang benar
dan bermanfaat. Islam juga memperbolehkan hiburan, agama tidak melarang manusia
menikmati kesenangan untuk membiarkanya dalam kejumudan. Termasuk menikmati
musik. Selama tidak keluar dari syariat. Ngaji dulu, baru nyanyi.
"Ngaji sek Leee....Ngaji ngaji...." |
Sejauh
yang saya tahu.
"Pada
dasarnya hukum segala sesuatu itu boleh, selama tidak ada dalil yang
mengharamkanya".
"Pedang
itu, tergantung pada siapa yang menggunakan".
"Saya putar yang lain ya, Sajadah Panjang, cover Peterpan bolehlah..."
"Dilanjut
Tombo Ati-nya Opick....."
Lantas
bagaimana dengan musik yang dinyanyikan sambil telanjang?, telanjangnya yang haram,
musiknya tidak. Lalu musik yang ditampilkan sambil bergosip?, ghibahnya yang
haram, musiknya tidak.
Terkait
dengan variatifnya selera musik seseorang, biasanya, sangat erat hubunganya
dengan apa yang sering ia dengar di masa kecil. Masa dimana karakter dasar
manusia dibangun. Secara khusus, pengaruh yang ditanam orang tuanya. Secara
umum, apa yang secara langsung maupun tidak langsung diajarkan oleh teman
sebaya. Norma yang pada akhirnya dapat diterima sebagai kebenaran. Pelajaran
kecil tentang, bagaimana bersikap didepan publik, dan pencarian menyangkut apa
yang dapat ia senangi. Something that made someone felt comfort.
Contohnya
saya, ayah saya adalah seorang pecinta musik Jazz, klasik, country, blues,
slow, pop, keroncong, dan dangdut, yang berusia lebih dari setengah abad. Dia
dulunya adalah seorang basis sebuah grup musik. Zaman itu musisi bukan
pekerjaan populer, musik berkualitas hanya milik bangsawan. Sebab sering
mendengarnya, jenis musik diatas adalah yang paling saya cintai, meskipun secara
harafiah saya bisa menerima genre musik apapun; rock n roll, rege, alternatif,
dangdut koplo, melayu, campur sari, R n B, hip hop, dst. Dan sebagai musisi
amatiran, kebutuhan hidup pun berubah menjadi 5 sehat 6 sempurna, yang ke enam
musik. Sampai-sampai saya merasa, kecerdasan musik saya jauh melampaui
rata-rata untuk anak pada umur yang sama. Apa lagi saya mencintai sastra sejak
kecil, sering menulis puisi atau sajak sederhana untuk ditelantarkan.
Di
masa saya beranjak dewasa, pada akhirnya, saya dapat mencintai setiap corak
warna pelangi itu, menjadi pribadi multiwarna. Yang mencintai semuanya dalam
kesatuan, dalam perbedaan. "Bukankah pelangi itu indah karena
berbeda". Memahami musik sebagai bahasa universal, suatu komunikasi yang
umumnya dapat diterima oleh naluri manusia normal, sebagai sebuah seni yang
disampaikan. Bukan lagi berdebat tentang, mempersoalkan, bahwa Jazz keren, Klasik cengeng, Pop terlalu mainstream, Keroncong khusus orang tua, dan dangdut "ndeso" atau Rock urakan. Kadang saya dengar Mozart atau Beethoven, Brian McKnight atau
Michael Buble, Depapepe atau Yiruma, lagu-lagu Disney, Yves montand atau Oxmo
Puccini, Michael Jacson atau Mariah Carey, Rossa atau Raisa, Kansas atau The
Carpenter, Kahitna atau Marchell, The Beatles atau Queen, Gesang atau Didi
Kempot, Rhoma atau Elvi, bahkan lagu anak-anak.
Menjadi
tenar dengan menjadi artis mungkin adalah hal yang diimpikan banyak orang. Ya,
manusia gila pujian. Pamer akan menjadi hobi, selain ingin cepat kaya.
Setidaknya itu alternatif terbaik daripada pergi ke dukun, memelihara tuyul,
atau ngepet. Kehidupan dan cerita artis adalah konsumsi harian publik, bagian
dari kenikmatankah?. Bisa jadi, jika berita politik-ekonomi adalah nasi,
infotaiment adalah lauknya. Artis, pada akhirnya akan menjadi selebritis. Artis
artinya pekerja seni secara umum, selebritis itu orang terkenal, kalau aktris
lain lagi, aktris artinya pekerja seni peran wanita: bisa jadi film atau iklan.
Jangan disalah-fahami, mengapa banyak orang bingung soal perbedaan ini?.
Artis
era kini memang identik dengan kemewahan, hura-hura, hedonisme, dan glamor. Di
bagian kesimpulan otak-otak murahan, satu musisi sukses sudah cukup
menggeneralisir nikmatnya menjadi artis. Faktanya, banyak artis melarat
berserakan dimana-mana: jalanan, rel-rel kereta, pasar. Dan fenomena itu tidak
mengandung unsur "pencapaian besar" atau "horor" yang
impresif untuk menggairahkan fantasi bahkan menakuti masyarakat. Sehingga media
tidak pernah mengangkatnya. Oleh karenanya, saya tidak pernah sepenuhnya
percaya pada televisi. Hal yang sama membuat masyarakat menjadi skeptis terhdap
iklan, manusia takut masuk perangkap tipuan. Itu semua berita bohong dari
presenter bermulut besar yang berbicara sampai bibir berbusa.
Diwawancarai
media adalah saat-saat selebritis harus terlihat sempurna. Mereka berlaga
sekeren mungkin, bicara sebijak mungkin, bersikap sesopan mungkin, berusaha
menunjukan bahwa mereka care pada pemuja mereka. Akhirnya dari lensa kamera,
mereka tampak sempurna di layar televisi, meskipun pada dasarnya tidak.
Penonton tertipu. Umumnya manusia hanya melihat satu episode dari
keseluruhanya, yang kebetulan bagian terbaiknya. Melihat seorang pendaki
menikmati sunrise atau sunset dari puncak Everest tampak mengagumkan.
Realitanya, orang jarang fokus pada betapa beratnya perjuangan mendaki sejak
dari rumah. Orang sukses yang rela meninggalkan hangatnya tempat tidur
mendatangi kulkas dibawah nol derajat hanya untuk melakukan pembuktian.
Selebritis,
khusus artis, lebih spesifik musisi, adalah juga the center of media. Dalam
ilmu komunikasi dan propaganda, mereka dijabarkan sebagai individu-individu
yang memiliki sedikit-banyak pengaruh memikat konversasi. Ini tentu menyenangkan
bagi industri media, hal yang memicu mereka dibanjiri pesanan iklan, artis were
news maker. Saya tidak mengatakan sepenuhnya, media mencintai musisi. Kadang
mereka menulis yang positif, kadang yang negatif. Tapi dari sudut pandang
bisnis, keuntungan diberitakan jauh lebih baik dari pada tidak diberitakan. Ini
terkait erat dengan taraf eksistensi dan kepopuleran seseorang, disaat media
sudah menganggap seseorang tidak layak untuk diberitakan, karirnya mulai redup.
Saat itulah lampu kejayaan dipadamkan. Saya tidak memungkiri, mendapat ulasan
bagus tentu lebih menyenangkan.
Pemahaman
tentang sifat-sifat dasar, "cara kerja media" sangatah penting.
Terutama bagi mereka yang sampai hari ini kekeh bercita-cita sebagai artis
legendaris, bukan sejenak datang lalu pergi, tampak aji mumpung. Secara
esensial, maksud saya, ini tentang pemasaran. Anda dapat saja memiliki pruduk
terbaik di dunia, tapi jika tidak ada orang yang mengetahuinya, itu sama sekali
tidak bernilai. Ada banyak orang yang memiliki suara jauh lebih baik dari
Syahrini atau Saiful Jamil. Bedanya, Syahrini & Saiful bernyanyi diatas
panggung ditonton banyak orang, sedang The Talented People benyanyi di kamar
mandi dimana tak seorang pun mengetahui bakatnya. Sebagai gantinya, mereka puas
hanya dengan menonton artis karbitan dari layar televisi 15 inci di rumah.
Menikmati hiburan kualitas standar yang lebih rendah dari harapan mereka sambil
berobsesi menjadi "judge" kompetisi bergengsi, tampak keren dengan
menghujat-hujat. Bagi saya pribadi, itu adegan yang menggelikan untuk dinikmati
di kehidupan nyata. Kebahagiaan dan kesengsaraan yang dikemas lucu.
Sampai-sampai
saya berpikir, ini hal sederhana yang disepelekan banyak manusia jenius. Dimana
memperbesar jumlah orang-orang gagal dengan bakat. Terbahak-bahak, riwayatnya
mungkin seperti saya. Selain soal kesempatan, kebanyakan kesuksesan dibidang
musik juga soal pilihan hidup. Menyadari bahwa, "Tidak semua yang berkilau
adalah berlian". Saya termasuk yang percaya, bahwa Tuhan dengan kebijaksanaanya
telah menganugrahi beberapa orang suatu bakat lahir. Bakat sebagai suatu hadiah
cuma-cuma yang tidak didapat mereka yang kurang beruntung. Saya sebut mereka
The Lucky Sperm, seseorang lahir lalu tiba-tiba menyadari mereka begitu
bertalenta. Itu keberuntungan yang enak didengar.
Pada
akhirnya seseorang dengan bakat akan berseloroh,
“Bakat
lahir tidak banyak membantu....”
“Beras
tidak akan menjadi nasi tanpa dimasak.....”
Tapi
bakat, yang saya pahami, ibarat berlian yang masih kasar. Mengasahnya adalah
dengan ketekunan untuk terus belajar. Terus mencoba dan mencoba, bangkit dan
terus bangkit saat jatuh gagal. Sampai bermetamorfosa menjadi berlian
masterpiece. Menjadi yang terbaik di toko perhiasan memang tidak mudah. Tapi,
"JIka tidak terlahir, jadilah yang terlatih". Keduanya sama-sama
punya kesempatan mendapatkan penawaran tertinggi di pelelangan berlian. Hanya
saja, seseorang denga bakat terpendam telah mengambil start lebih dulu.
Sehingga yang tidak berbakat harus bekerja lebih keras dalam persaingan.
Seperti kisah Ronaldo dan Messi.
Musik,
yang saya pahami, setidaknya---jika enggan dikatakan mutlak, telah membantu
pemerintah didalam menenangkan jiwa-jiwa. Ruh yang terancam bahaya laten putus
asa atas rahmat Tuhan akibat kondisi sengsara yang bertubi-tubi, kesenjangan
sosial merajalela. Jika ulama berkata ada baiknya mengobati jiwa yang sakit itu
dengan membaca kitabullah. Salah sak wijine tombo ati iku, moco qur'an lan
ma'nane. Tapi bagi mereka yang tidak berpikir demikian, yang lebih cenderung
memaknai kebahagiaan dengan bersenang-senang itu sebagai hura-hura, atau
sekedar sejenak menyelingi kepenatan memperjuangkan cita-cita utopis negara
menyejahterakan rakyat---tanpa terkecuali. Maka membahagiakan diri dengan musik
menjadi cukup relevan daripada seseorang memilih menembak kepala presiden atau
membuat teror bom sebagai bentuk rasa kekecewaan.
Selain
dari hal itu akan menambah PR negara, seringkali yang dilakukan justru salah
sasaran. Bukanya para koruptor, gembong narkoba, mafia migas, pencoleng
Freeport, kontraktor gadungan, atau hakim dzalim yang mati---malah masyarakat
sipil jadi kambing hitam. Lebih-lebih jika, masyarakat melarat yang meskipun
sudah mati masih wajib membayar pajak tahunan kuburan mereka ke pemda Jakarta.
Benar-benar keputusan menyedihkan, sungguh logika yang sulit dipahami.
Bahwa
dapat diterima sebab masuk akal, pendapat yang menyatakan jika manusia miskin
itu lebih cenderung berbuat kriminal. Bahwa tingkat kemiskinan berbanding lurus
dengan tingkat kriminalitas. Saya akan berpikir seribu kali untuk berlaku
kriminal, jika saya kaya. Toh saya memiliki segalanya: uang, rumah, mobil,
pendidikan, status sosial. Kemungkinan besar saya berlaku plegmatis. Masalahnya
yang dipahami kebanyakan orang, pemerintah tidak pernah benar-benar mewujudkan
itu. Rakyat menganggap institusi jadi-jadian itulah yang harus bertanggung
jawab atas semua itu. Seolah-olah takdir kaya dan miskin itu ditangan mereka.
Sudah
saya siratkan sebelumnya, musik akan membawa setidaknya secercah kedamaian
dalam batin, walau bagi manusia paling sedih sekalipun. Dan menurut saya semua
setuju jika orang miskin itu cukup identik pada, sedih. Yaah, benar, sedikit
menyedihkan juga. Ketika musik menenangkan jiwa-jiwa tadi---si miskin, tentu
sedikit-banyak membantu menahan kecenderungan mereka berbuat kriminal. Paling
tidak memacu mereka berpikir lebih waras untuk tidak melekatkan status
tersangka, terpidana, sekaligus residivis. Itu ibarat melempari si miskin kelaparan
secuil roti yang memenuhi seperempat perutnya, sekedar memperlambat mereka
berlaku kejam dan liar. Berharap sekilas menyadari betapa masih ada hal-hal
menyenangkan yang begitu mudah didapat, tanpa harus memahami segalanya dari
perpektif materialistis---memiliki banyak harta-harta. Kesenangan sesaat yang
dihasilkan musik, cukup membuat hati lebih tenang dalam kesederhanaan.
Sesederhana musik.
Hari
ini musik berlantun di kamar-kamar gelap, berirama di pesta-pesta, berdentum di
klub-klub, berputar di pasar-pasar, beraduan di jalanan, memanjakan banyak
telinga manusia. Bahkan, adakalanya unsur-unsurnya menyisip di doa-doa pada
Yang Kuasa. Atau pada ibadah-ibadah sesuai tuntunan agama. Dia begitu
berdampaknya pada jiwa sehingga diadabkan dalam amalan-amalanya. Yang diucap
lirih dalam ketakutan, kehinaan, dan penghormatan dalam suatu tempo tertentu.
Berikut intonasi nada hati yang mengiringi perasaan, damai. Do'a yang juga
dipercaya manusia membawa pada bahagia. Jika manusia percaya. Pada do'a, dan
pada unsur musik yang membawa rasa indah dalam dada.
Musik
menghentikan sumpah-serapah sopir angkot sebab membosankanya kemacetan. Musik
diajarkan pada balita di TK-TK. Musik berdangdutan di pos-pos keamanan. Musik
menemani manusia makan di angkringan. Musik diputar menemani pelajar belajar.
Musik berjalan meminang kembang perawan. Bahkan diperdengarkan sejak di janin bunda. Dan musik, bersholawatan di
acara-acara pengajian.
Ide,
imaji, diskursus, notasi, analisis, perdebatan, solusi, sindiran, dan
apapun; yang dibaca dalam damai. Diatas. Sebagai baris-baris kata berjeda-jeda,
nun kita pahami kata-kata akan mati tanpa spasi, cuma catatan-catatan sederhana
yang berusaha ditorehkan. Tumpukan prosa-prosa mini yang berevolusi jadi maksi,
untuk tujuan sesederhana bahwa: barangkali dihari-tuaku nanti dalam duduk-ku
menikmati senja bersama secangkir mocca, bergeming, lantas berpikir tentang
seni musik dan suatu kenikmatan, aku dapat membacanya kembali. Sekedar
menyadari, aku sempat berpikir. Menurutku, itu hadiah kecil yang merekahkan
senyum seorang renta. Memang bukan segala penjelasan, ketahuilah tidak ada yang
mampu. Dunia tidak pernah dapat dijelaskan dalam satu dua lembar kertas atau
satu dua jam bicara. Rapi tak rapi, ini bukan tesis doktoral bukan juga roman.
Hanya catatan. Sebuah prosa yang sulit didefinisikan.
Bisa
jadi, pun sebagai cetus-cetus yang tak kupahami, mungkin juga sebagai pelarian.
Dari kebosanan pada bahasan politik, yang itu-itu saja, yang mencapai titik
klimaks sejak bertahun-tahun lalu. Yah sama, butuh beralih fokus. Lalu, seolah
ada yang menuntun untuk sejenak kembali pada apa yang daku cintai sejak kecil;
Agama, Filsafat, Sastra, dan Seni---termasuk musik yang sempat kusalahpahami.
Akhirnya, menelurkan beberapa rangkai catatan cukup memuntahkan apa-apa yang
menyesakan otak, ide-ide usang sedekade lalu atau juga sambil mencoba perpektif
baru hasil mutasi nalar. Mencuatlah rasa lega itu, setidaknya untuk beberapa
saat. Kita nikmati sajalaah, mungkin juga aku menyusun ulang rencana. Jika
lebih baik, kenapa tidak.
"Aku
pernah berencana menikmati musik, dan masih berusaha mewujudkanya".
Dari
sekian catatan-catatan kecil yang sistematikanya tidak cukup struktural,
manusia ketika berpikir tentang musik hendaknya memperhatikan beberapa aspek
kelebihan dan kekurangan dalam diskursusnya. Dari perspektif agama, ulama
berbeda pendapat dalam hal ini. Meski saja ada yang secara tegas
berpendapat musik haram pun sebaliknya. Adapun yang menghalalkanya, memiliki
beberapa syarat tertentu. Menghalal-haramkan demikian, tentu dengan dalil.
Yang
jelas suatu kebahagiaan yang ditimbulkan oleh suatu komposisi nada-nada berikut
sentuhan musikalitas demikian mampu menciptakan dampak rasa yang membahagiakan
pendengarnya. Itu mungkin sedikit sukar dimengerti, tampak mistis.
Kesimpulanya, kebahagiaan, dapat timbul dari bebagai sumber---termasuk musik.
Namun, kebahagiaan, kadang hanya soal rasa pasrah. Dimana manusia tidak merasa
terbebani oleh apapun. Saat rasa hidup jadi bebas dalam arti "rela"
menjalaninya meski dibebankan kewajiban atasnya. Manusia hanya perlu lebih
mengerti apa arti sesungguhnya bekerja. Kondisi itu sering timbul bukan sebab
seseorang memiliki segalanya yang terbaik. Tapi karena seseorang mampu menerima
dengan lapang dada apa yang mereka miliki. Merasa cukup. Puh bahagia itu
sederhana.
"Kebahagian
hanya soal rasa syukur....."
"Apalah
artinya hidup, jika tidak mengerti,
apa
arti sesungguhnya menjadi manusia".
Kebahagiaan
mungkin saja timbul dengan sendirinya, tanpa dibuat-buat, bahkan tanpa
ritual-ritual khusus yang terlalu rumit untuk dipahami. Kebahagiaan sederhana
yang dibentuk oleh tingkat espektasi manusia dan keadaan sesungguhnya di
realitas dalam kesesuaian yang "setara". Tentunya jika kita, sekali
lagi, "Berdamai dengan diri sendiri". Kesedihan akan mencuat saat
ekspektasi tadi dan juga realitas berat sebelah---timpang. Harapan yang terlalu
tinggi atau realitas yang terlalu rendah. Kebahagiaan menjadikan neraca ukur
keduanya seimbang---setara. Atau sebaliknya, "kesetaraan" itu justru
menciptakanya. Qona'ah menciptakanya. Berqona'ahlah, tapi teruslah berharap.
Tau maksudku kan? jika tidak anggap saja mengerti.
Dengan
segala keterbatasan kita, di kelelahan alam pikir sepanjang nalar, setidaknya kita dapati
konklusi sederhana. Kebahagiaan bukan berarti tidak ada, sesuatu yang mustahil.
Hanya yang mustahil, mendapati kebahagian yang sepenuhnya tanpa unsur
kesengsaraan. Nothing free lunch. Semua ada harganya. Selalu ada harga yang
harus dibayar untuk hal yang ingin kita dapatkan. Sekecil apapun itu,
pengorbanan minimum tak pernah alpa. Tak ada kebahagiaan tanpa berpayah-payah.
Musik sedikit membantu.
Jika ingin melihat kebahagiaan dalam suatu kebebasan, mudahnya, perhatikanlah anak-anak. Menurut pengalaman kebahagiaan kebetulan itu, lebih sering terjadi di masa itu---"kesetaraan tadi muncul". Selain dari masih sucinya hati, mungkin manusia di masa itu belum mengenal hal-hal semacam: kebohongan, pragmatisme, persaingan, atau perang dalam bentuknya yang paling mengerikan. Masa dimana manusia belum sesungguhnya mengenal arti rasa takut dan harapan. Itu tidak mutlak, tapi sering membantu. Senakal apapun yang mereka lakukan, mereka tidak memiliki tendensi apapun. Selain sekedar menjalani hidup, alasan yang begitu sederhana. Tulus, tanpa kepura-puraan. Dengan kesucian hati sedemikian rupa, seolah kebahagiaan tampak pasti. Pada akhirnya, bersama ungkapan "kebebasan" versi kita tadi, manusia meracik nada-nada bersama bumbu musikalitas artistik di dapur seni. Lalu, menikmatinya dimeja saji.
"Tetaplah menjadi anak-anak...."
"Jangan tumbuh dewasa....."
Denny Chasmala, Me, and Rian D'Masive |
By : The Running baby
International relation scholar
No comments:
Post a Comment
Please comment by your kindness....thanks for your visit... : )