Saturday, November 22, 2014

The Art of Music and Enjoyment (In My Thought)













The Art of Music and Enjoyment
(In My Thought)






“Indahnya musik, hanya kenikmatan imajinatif”

Seorang musisi seharusnya sadar bahwa  dirinya adalah seorang insinyur emosi. Struktur intonasi nada dari blue print yang dibangunya akan membangun bangunan dinamika intuisi manusia. Intuisi merupakan teman akrab rasa penasaran dan keragu-raguan, yang harap-harap cemas antara kesedihan dan kebahagiaan. Sama dengan kesedihan, pun kebahagian akan ditafsirkan berbeda-beda berikut keunikanya masing-masing. Kebahagiaan itu suatu suasana hati yang serba indah dalam rasa yang, menurut saya, lebih bersifat subjektif individualistis daripada komunal.

Yang kebanyakan orang lebih meyakini, "Kebahagiaan itu relatif". Barangkali semacam unit-unit satuan yang berakhir sebagai pundi kesatuan. Yang kita terlalu berfokus mengamatinya pada diri kita sendiri sebagai individu, intrapretasi derivatif dari intuisi. Kebahagiaan bersifat eksklusif pun lebih banyak terpendam dalam batin, selalu lebih banyak yang tak terucapkan. Pernahkah mendengar, "Better left unsaid". Ada baiknya hal-hal paling esensial di dunia tak perlu diucapkan, cukup dirasakan. Jangan jelaskan, "Temanmu tak membutuhkanya, musuhmu takkan percaya".

Lalu "intuisi". Sebuah rasa yang sedikit mistis untuk dipahami dalam eksistensinya, mengapa ada dan terjadi---meski seolah dia sendiri tak butuh dipahami. Hanya saja dia tak dapat dibantah memang "alat" untuk memahami. Walau sering, dia pula kesulitan memahami dirinya sendiri yang beroperasi. 

Gumam, "Aku merasa aku". Juga, "Darimanakah aku?".
Aku ingin menemukan 'aku'........

Mungkin bahagia, bentuk sederhana alam imajinasi sukmawi pada kita yang "kebetulan" bergugus bagus---ketidaksengajaan yang menyenangkan. Saya sebut "kebetulan" karena dunia penuh ketidakpastian, bahkan soal kebahagiaan. Suatu komposisi suasana tenang serta penuh harapan juga rasa aman. Rasa aman sangatlah penting. Orang sakit yang memiliki rasa aman, dia tidur nyenyak. Orang sehat yang tak memiliki rasa aman, takkan berasa nyenyak. Orang miskin yang memiliki rasa aman, dia tidur nyenyak. Namun sekalipun kaya jika tak memiliki rasa aman, tentu tak punya "enak". Yang saya pahami, "keputusasaan" sangatlah menyiksa.

Musik identik dengan kebahagiaan, suatu hiburan---entertainment. Tepatnya, agak lebih pantas diidentikan dengan kebahagiaan daripada kesedihan. Manusia: baik pencipta, penggubah, pemain, maupun penikmat, secara visioner berharap besar menjadikanya sebagai sesuatu yang "dapat dinikmati". Kenikmatan dari sajian bagi intuisi itu sendiri, yang menganggap rasa aman-tenang berkandung harapan adalah "kebutuhan". Musik diharapkan memenuhinya, meski dalam bentuknya yang paling syahdu sekalipun.

Saya mencoba mendefinisikan musik. Secara definitif musik itu ialah suatu komposisi bunyi yang memiliki tempo ketukan, variasi nada, dan warna suara yang harmonis serta beraturan. Musik mengajarkan "tempo" pada manusia, mempengaruhi intuisi yang pada akhirnya cenderung membentuk karakter sigap-tidaknya seseorang---meski tidak mutlak. Aksen cepat-lambat. Menjadi suatu keharusan bagi saya, sebuah musik, untuk wajib minimal memiliki dua nada berbeda dalam komposisinya. Dalam perspekif saya, satu nada yang dimainkan secara mendatar terus-menerus belum dapat dikatakan sebagai musik. Meskipun mungkin jika anda hidup berkecimpung di musik akan berpendapat sebaliknya. Misalnya, "Asalkan memiliki tempo, meskipun hanya satu nada yang dimainkan secara mendatar---ialah termasuk musik". Namun soal warna suara, satu sudah cukup. Jika terdiri atas berbagai warna suara dia harus berharmoni sebagai tanda keteraturan.

Tentunya, lagu dan musik amat berbeda. Jika lagu, maka akan memiliki syair sedangkan musik tidak. Syair berima pada bentuk tradisionalnya yang semakin tak berima pada masa kontemporer. Bahwa dalam sebuah lagu akan selalu ada pesan yang ingin disampaikan. Baik si penyayinya berdiri sebagai orang pertama, kedua, atau ketiga. Sebuah lagu tidak hanya mengharmonisasikan satu warna suara alat musik dengan warna suara lain. Lebih dari itu, musik itu sendiri harus diharmonisasikan dengan syair dalam satu tubuh. Sampai hari ini saya masih meyakini, sebenarnya "jiwa" sebuah lagu ialah justru lebih pada liriknya itu sendiri daripada musiknya. Musik adalah bagian "raga", hanya sebagai pengiring. Sudah barang tentu sifat jiwa lah kekal abadi, raga tidak. Syair si pujanggalah yang memimpin musik dalam uninya, bukan sebaliknya. Ya, mungkin kebanyakan penulis lagu merupakan pujangga---hasilnya lagu cinta. Syair lagu sanggup berdiri sendiri tanpa musik. Namun musik, tak dapat berdiri sebagai sebuah lagu tanpa rohnya---syair. Jika demikian hanya dapat disebut instrumen, bukan lagu. Tanpa rohnya, bukan juga mayat hidup lah.

Well, supaya tidak boring saya sambil putar lagu boleh ya.
"Vakansi", by White Shoes & The Couples Company.
"Oke, mari berbicara lebih lanjut....."


At Denny Chasmala's Studio



Cara sebuah lagu disampaikan kian variatif---dikemasnya dan kemasanya juga terkemasnya. Ibarat toko kelontong, seorang konsumen akan tak hanya melihat bahwa dalam bungkus sebuah produk yang dibelinya terkandung percikan "image" barang itu sendiri. Lebih dari itu ia akan juga mencitrakan: tokonya, penjualnya, pemiliknya, kualitasnya, pelayananya, attitude, sanitasi, harga, sampai justifikasi sosial, dsb. Begitu juga lagu, "citranya" lebih dari sekedar lirik dan musik. Mata-mata kita tersedat pula pada percikan: penyanyinya, genre-nya, komponisnya, pengiringnya, fashion, style, attitude, dekorasi panggung, konsep dan pamor acara, suasana, video clip, cara menonton, segmen penonton, budaya, dsb. Jauh lebih dari itu, sebuah "ost." akan begitu lekat tercitra atas suatu film, atau sebaliknya. Tergantung sebuah lagu itu berangkat dari film, atau film yang beradaptasi ke lagu. Bercak imaji AADC dengan "Bimbang" gubahan Melly, boleh jadi contoh kecil tentang "citra" itu.

In my sight, "A song is like a rainbow". Sebuah pelangi, yang muncul setelah kemarau setahun diguyur hujan sehari. Teduh. Memandangi langit berhiaskan pelangi setelah-sembari hujan rintik-rintik sangatlah romantis. Wajah anggun si embun pelangi itu baru saja bersolek, me-ji-ku-hi-bi-ni-ung. Sambil berharap, cahaya akan tanpa henti menyinarinya---sebuah harap masa depan warna-warni. Sisi cerah. Warna-warni, banyak warna yang menjadi satu. Barangkali kebahagiaan versi "relatif" yang ditafsir berbeda-beda bersama perdebatan basinya itu pun seperti pelangi. "Bukankah pelangi itu indah karena berbeda". Ketahuilah, tiap-tiap warnaya mewakili satu "citra". Lalu manusia-manusia berdosa jatuh hati pada salah-satu atau salah-dua dari mereka. Seperti itulah juga kiranya, kebahagiaan yang dihasilkan musik.

For me, "The world is never beautiful without colours".
Tanpa warna-warna.
Lawan berwarna itu bukanlah putih atau hitam.
Tapi bisa jadi tak berwarna itu "bening" atau "kosong".
Adanya akan membuat mata sulit membedakan benda. Tiada gelap-terang.

Kadang manusia menikmati suatu lagu dalam imaji dua-tiga citra, lima-enam citra, tujuh-delapan citra, atau bahkan puluhan citra. Uniknya cara manusia menikmati lagu sangatlah terdiferensiasi. Usut punya usut, memangnya sisi apa yang membuat lagu dapat dinikmati. Seorang Dan mungkin dapat saja menikmati single "Burung Camar" hanya karena alasan sesederhana, pelantunya ialah Vina panuwinata dengan jenis musik pop yang agak jazzy. Dengan dua nisbi saja, alias dua citra yang terkonstruksi dalam alam bawah sadar, bagi seorang Dan sudah sangat cukup untuk merasai lagu mencapai titik klimaksnya. Cukup menjadi alasan untuk berbahagia melalui sebuah lagu.

Berbeda dengan Dan, seorang Cok yang perfeksionis penuh idealisme akan sangat berkaca pada segala diskursus tentang seni dan pakem-pakem didalamnya. Dia mungkin akan memperhatikan setiap detail per satuan, "citra-citra" di atas---tanpa terlewatkan. Biasanya jenis orang seperti ini akan mematok preferensi yang teramat tinggi, dan tak sekedar berkesenian. Terkesan hanya pada kualitas-kualitas. Memandang dari ribuan perpektif, lebih dari sekedar penerimaan atas "relativitas" yang membabi buta---serampangan. Mereka menikmati seni dengan caranya sendiri, penuh prinsip-prinsip, kerap tampak justru keluar dari identiknya seni terhadap "kebebasan". Bagi Cok, kebebasan dalam seni bukanlah hal yang dapat diartikan sepenuhnya berantakan. Atau sepenuhnya tersekat-sekat dalam aturan-aturan yang membuatnya terkekang tanpa gerak. Perihal artistik itu "diantara keduanya", di pertengahan. Mesti saja, mereka mengklaim berprinsip, "Tak hanya hidup dari seni, tapi hidup untuk seni". Selain dihidupi seni, juga menghidupi seni. Sehingga karena tingkat gairah plus kecerdasan seni tingkat master itu, membuat seorang seniman khususnya musisi akan cenderung memberikan terapi berbeda, hanya untuk mereka terapresiasi sekaligus mengapresiasi.

Art is expression of freedom. Keindahan tak tampak tanpa kebebasan, keindahan tidak dapat dinikmati dalam tekanan. Sangat tidak nyaman menjalani sesuatu setengah hati. Seni mengajarkan kita kebahagiaan penuh. Melakukan tindakan dalam term, "Just follow your heart, even if it freak". Seolah, menuntun dalam mendobrak segala yang membatasi dirinya sendiri, untuk berbahagia."Berdamai dengan diri sendiri", menjauhi keputusasaan. Menyelamatkan keyakinan dari cengkraman keragu-raguan terhadap keterikatan hati pada benda-benda, sesuatu yang selalu dijauhi intuisi. Saya paham benar, seseorang tanpa gairah seni lebih sering hidup dalam kebosanan. Saya tak yakin mereka akan punya banyak kisah menyenangkan di hari tua, hobi hidup dalam tekanan. Lebih sering miris saat mengingat masa mudanya. Bagi saya, dan apa yang saya alami, seseorang dalam keragu-raguan tak pernah bisa menikmati lagu secara sempurna.

Seorang Cok tadi, biasanya hanya sebuah bentuk perkawinan antara kebebasan seni dan logika---yang serba terbatas-batas, terkotak-kotakan. Suatu seni, termasuk musik, setahu saya hanya dapat dinikmati dengan rasa "cinta". Sedangkan cinta itu bahasa hati, bukan rasionalitas akal. Cinta sering tidak rasional, kan?. Para filsuf menalar rasio, "Logika tidak bisa menggabungkan dua hal yang bertentangan---dikotomis, tapi cinta bisa". Logika beroperasi secara teratur dan sistematis, cinta cenderung berantakan. Kembali pada penegasan Cok sebelumnya, mungkin "diantara keduanya".

Andaikata Saya katakan, "Dian Sastrowardoyo sangatlah cantik, tapi Anda menilainya buruk". Sepertinya Anda perlu periksa mata, mungkin Anda rabun. Kalau saja kita buat leveling sederhana, saya menghakimi di angka 99 tapi anda mematok 20, misalnya. Bagi seorang Cok, ini menjadikan Anda terlalu jauh berbeda bukan karena relativitas, "Tapi Anda goblok".

Bahkan dalam kebebasan pun ada ukuran-ukuran, semacam kadar limit---termasuk soal keindahan. Indah dan tak indah, ini sempurna dan itu cacat. Yang menjadikan sesuatu cukup pantas untuk disebut indah. Juga cukup pantas untuk disebut cacat. Seni menghargai kebebasan, karena itu membedakan manusia dengan karapan. Kita bukan domba-domba dengan tali kekang atau monyet dalam pasungan. Kita berpikir dan memiliki rasa seni, membuat kita berkarya. Bicara musik, seharusnya memang bukan masalah pintar dan tidak pintar. Tapi, ini soal suka dan tidak suka, juga senang dan tidak senang. Namun saya ingin bertanya, "Dalam segalanya ornamen fana, apa yang tidak dibatasi?".

Bahkan manusia itu pun dibatasi, malah penuh keterbatasan. Ketidakmampuan mencapai segala yang diinginkan, membuatnya sering jatuh putus asa. Keputusasan yang perlu didobrak dengan kebebasan itu, yang bergantungan pada tali "harapan" milik kebahagiaan. Keputusasaan itu sumber kesedihan, penyesalan yang semua orang pernah mengalaminya. Ya jika tidak sepenuhnya, sebagian besarnya. Saya yakini pula, "Keputusasaan itu pasungan", yang selalu diawali penyesalan kecil.

Lantas, apa itu kesedihan?. Baik, saya coba mengulik satu dari sekian ribu jawaban. Ketahuilah, manusia seringkali dihinggapi keinginan berlebihan. Nah yang saya pahami, "Kesedihan hanyalah keinginan terlalu tinggi yang tidak sesuai realitas". Lalu manusia merasa terbani dosa besar karena melakukan kesalahan. Tidak mampu mencapai apa yang seharusnya dicapai, "dalam pandanganya". Melakukan kesalahan merupakan hal wajar, manusia mencoba banyak hal.

Apa solusinya?. Jika manusia mengalami kondisi yang tidak sesuai pandanganya, rubahlah kondisinya. Jika gagal, maka rubahlah cara pandangnya terhadap kondisi tersebut. Kodrat manusia adalah hidup dalam keterbatasan, saya pun menerimanya dengan lapang dada. Dengan kata lain, jika keinginan yang terlalu tinggi masih jauh sesuai dengan kenyataan, maka turunkanlah keinginanya---sesuaikan pada relita. Berdamai dengan diri sendiri. Atau jika saran itu cukup salah, pertahankan keinginan itu sambil tak mengesampingkan lagi-lagi, "Berdamai dengan diri sendiri". Bukan juga lari dari kenyataan, tetap berjuang. "It's qona'ah", merasa cukup. Dunia beserta seluruh isinya tidak pernah cukup memenuhi nafsu satu manusia. Manusia sangatlah serakah, tamak.

Nah penyesalan adalah masalah persepsi, yang salah. Penyakit emosional. Nah lagi, yang saya sadari musik atau sebuah lagu biasanya dapat membuat manusia "sejenak lupa" pada penyesalanya. Alih fokus, semacam amnesia temporer. Tugas musisi sebagai insinyur emosi alias tukang persepsi dalam hal ini ialah menyulut manusia untuk "sejenak lupa". Jika laksana ahli farmasi, fungsi musisi meracik obat guna ditabur demi menyejukan qolbu-qolbu prihatin. Penyanyi adalah dokternya. Tapi, jika anda seeorang sufi itu bukan obat yang baik---bukan saran sempurna. Saya tidak tahu persis, saya hanya menduga.

Barangkali keterbatasan juga merupakan satu ragam anugerah. Yang membuat kita dapat berlaku rendah hati sekaligus rendah diri dihadapan Tuhan. Yang dalam situasi-situasi sulit campur tangan-Nya dibutuhkan. Nun dimasa lapang, Dia dilupakan. Manusia sungguh plin-plan, penuh  kemunafikan. Naif. Jika masih diciptakan, a creation, segala yang berkorelasi padanya tak sempurna. Camkan, "Karya manusia tak pernah sempurna". Keterbatasan telah dan masih akan menghasilkan banyak kesalahan. Menyadari kita benar-benar tidak sempurna, bahkan sajian-sajian indah seni-musik itu pun. "Let's make better mistakes tomorrow". "Sebab ada keterbatasan, maka ada ketidakterbatasan".

"Dalam seni pakem dan prinsip wajib tetap ada. Bukti peradaban, manusia mahluk beradab".
"Saya juga percaya seni indikator peradaban....."
"In freedom, boundary does exist......"
"Hal paling bodoh dari relativitas adalah saat seseorang menganggap lolipop sebagai kontol dan kontol sebagai lolipop....."

Entahlah, mengapa seseorang lebih tertarik pada suatu hal sedang tidak pada yang lain. Akhirnya manusia merasa mendapati kebahagiaan karena mencintai satu-dua warna saja. Mungkin juga, sambil atau tanpa membenci yang lain. Beberapa logika berkoar, "Itu bukan kebahagiaan purif, itu nisbi". Ya, nisbi, semuanya hanya soal "selera". Memang, bahagia dan nisbi itu beda tipis. Bukan berarti tidak ada manusia yang dapat mencintai semuanya, warna-warni itu. Bukan seperti cinta yang setengah hati, hanya saja biasanya mereka harus melewati semacam arogansi satu-dua warna sebelum menjalani "pencerahan" demi menjadi pribadi multiwarna. Yang dapat "menikmati" semuanya.

"Everybody like music”. Atau bisa dikatakan hampir tidak ada orang yang tidak menikmatinya. Setiap denting, alunan nada, harmoni syair, selalu menyihir setiap orang yang mendengarnya. Sadarlah, itu karena prasangka baik, hasilnya kebahagiaan. Kalau berprasangka buruk terhadapnya, takkan ada kebahagiaan. Intuisi kita menggandrungi itu, we were addicted. Meski, itu hanyalah sekedar kenikmatan persepsi.

Bahkan seseorang sedang patah hati yang menganggap cinta itu buta pun masih dapat merasakan setitik kedamaian dan rasa senang, jika dia mendengarkan musik. Setidaknya sekedar mengobati luka untuk beberapa persen rasa sakitnya, sejumlah kecil. "Ya, cinta mungkin buta, tapi cinta masih bisa mendengar".

Bagi saya, "Sesungguhnya indahnya lagu hanya kenikmatan imajinatif". Sejauh yang saya tahu, semakin jauh imajinasi anda, hal itu semakin menghujam jantung. Dan rasanya tergantung prasangka anda. Dan ketika anda mulai bosan, artinya imajinasi anda mulai buruk. Saya sangat percaya kekuatan berpikir positif. Bahkan kekuatan berpikir negatif, meski hanya sebagai proses menentukan pilihan.

"Berprasangka baiklah, prasangka buruk adalah pangkal dari segala kejahatan....."

Dalam suatu kebahagiaan hasil musikalitas artistik yang memiliki berbagai struktur dan komponen tersebut, jika anda bertanya mana yang paling esensial?. Ibarat rumah, mana pondasinya?. Menurut saya, primernya jenis-tipe-bentuk lagu dan yang kedua penyanyinya. Lainya sekunder dan tersier. Dan dari keduanya tersebut, penyanyinya lah lebih penting. Saya tidak mengatakan esensi lagu tidak penting. Racikan lagu sangatlah penting, hanya saja penyanyinya lebih penting. Pernahkah mendengar, "Not the gun, but the man behind the gun". Lebih dari itu, kecocokan keduanya menentukan kesan yang terbangun saat ditampilkan---performance effect. Karakter keduanya merupakan komposisi karakter adesif. Sebuah potret dalam satu bingkai, yang tak dapat dipisahkan.

Tell to the world, "The best singer without the best song was like a bird without wings".

Bincangan lain, bagaimana tentang sosok penyanyi yang patut dianggap ideal. Ya, penyanyi sangatlah utama dalam suatu pentas kecil atau konser spektakuler show. Semua audien biasanya akan terlalu "menyediakan" fokus lebih kepadanya. "Sedia" bukan "sisa". Persentase sudut pandang akan lebih besar kepadanya, sisanya partisi lain: esensi lagu, gitaris, drumer, pianis, dekorasi, kualitas sound, kostum, dsb. Dengan fasilitas standar, standar saya katakan, dengan skill emas penyanyi (mengacu pada "kualitas suara" manusianya secara harfiah), sebuah show akan sangat mengagumkan. Ibarat negeri dia rajanya, ibarat bus dia sopirnya, ibarat rumah dia pondasinya, ibarat tubuh  dia jantungnya. Penyanyi merupakan subjek paling utama dalam sebuah pertunjukan. Berlian paling seksi diantara semangkuk intan permata. Dan warna paling cerah dari pelangi, analogi citra kebahagiaan relatif tadi.

Sudah seharusnya, seorang penyanyi adalah orang yang ahli berkomunikasi. Memiliki kecerdasan linguistik diatas rata-rata. Sebab tugasnya menyampaikan sesuatu---pesan. Juga secara minimal mencintai sastra, pesanya lah kalimat-kalimat kasusastran. Mengerti tata bahasa: tentang klausa, diksi, majas, juga ahli beranalogi. Secara fundamental mengerti perihal body language: eye contact, mimik, intrapersonal soul, interpersonal feeling, exactly having a sharp "intuition", overall having nice attitude. Dan yang wajib pula yaitu self-confidence, sedikit arogansi karismatik---dalam kebijaksanaan.

Sejauh yang saya pahami, dalam hal prasyarat yang paling sulit dipenuhi bagi seorang penyanyi yaitu, "Penyanyi wajib merasa senang". Ketahuilah, "Senang itu menular", begitu pula sedih. Ketika manusia berkumpul bersama orang-orang sedih, dia "cenderung" sedih, dan sebaliknya. Sedang yang saya sadari, "Saya tidak bisa menyenangkan orang lain saat saya tidak senang". Kecuali saya berpura-pura senang pada anda, menipu diri sendiri. Yang biasanya atas nama profesionalitas musisi melakukan itu. Akhirnya musisi bermain dalam keragu-raguan dan rasa was-was. Mengerjakan sesuatu dalam emo malas atau tergesa-gesa. Rasa senang itu bisa jadi seperti "senyum", yang akan tetap menuangkan sejentik kesejukan, sekalipun dihibahkan kepada musuh. Ibarat kopi, "Kopi yang diseduh dari hati, manisnya sampai ke hati". Tidaklah air suci itu muncul, kecuali dari sumber yang suci. Keindahan datang dari keindahan.

Sebelumnya saya tekankan, musik itu entertainment alias suatu hiburan. Tujuanya ialah kebahagiaan. Sekalipun itu lagu paling sendu sepanjang sejarah umat manusia, tujuanya sama---kebahagiaan. Kebahagiaan secara paling sederhananya wajib mengandung unsur: ketenangan, harapan, dan rasa aman. Jika ada seorang musisi yang berkarya untuk menyedihkan orang, seharusnya dia jadi pelawak. Lalu bagaimana dengan lagu religi?. Begini, boleh dikatakan seringkali, seseorang yang mendengarkan lagu religi akan tampak sedih. Teliti pada diri anda sendiri, saat sedang mendengarkan dalam gandrung anda, setidaknya anda mendapati "salah satu" unsur itu. Saat manusia mulai syahdu dan menangis pun, anggap saja misalnya sedang meratapi dosanya, lalu merasa "tidak aman" dari neraka jahannam, selanjutnya merasa risau---"tidak tenang", they still remain at least "a hope".

Duh sekalipun manusia itu memikul seluruh dosa umat manusia, hasilnya sama. Namun, itu tidak dijamin pada kondisi abnormal. Saat manusia mulai tidak waras.

Dalam ketakutanya, manusia masih punya "harap" pada Sang Pencipta. Tuhan dan ajaran kenabian masih memberi ruang kebahagiaan bagi anak adam dalam titiknya yang paling syahdu sekalipun. Menyisakan sebuah "harapan". Harapan kecil yang memberi kita alasan untuk tetap hidup meski berdosa---gagal dalam "keterbatasan". Obat keputusasaan kawan. Sambil menitikan air mata, manusia tetap patut berbahagia saat menikmati musik religi. Sembari tanpa henti percaya, bahwa Tuhan masih punya maaf.

Bahkan seorang satanis yang menyembah setan sekalipun, dalam menyanyikan lagu-lagu pujian sambil memuja-muja setan dalam ketelanjangan, anggap saja jika dia tidak mendapati "rasa aman" dan "rasa tenang", percayalah dia juga masih memiliki harapan. Sekali lagi, harapan menjaga manusia tetap hidup. Walau-walau mereka meletakan harapan ditempat yang salah, harap yang pasti pupus. Kebanyakan manusia kecewa hanya karena terlalu berharap pada manusia, dan yang lebih tolol kepada setan.

Sudah seharusnya musisi bermusik dengan hati, termasuk penyanyi. Saya kira faktor keterlibatan hati sangat penting didalam melakoni sesuatu. Mengapa hati?, karena segala yang muncul dan tumbuh dari dan dengan hati itu: suci, murni, tulus ikhlas, dan pasti indah (sebagaimana seni). Dalam falsafah yang saya yaqini juga apa yang telah saya alami, "Tidak semua hal luar biasa itu lahir dari logika".

"Kadang, logika itu cacat...."

Bagaimana ciri-cirinya bahwa seorang musisi memiliki kehadiran hati pada ruhnya. Dia  tidak secara laten terikat pada benda-benda, atau terkekang oleh ide kebendaan yang membabi buta, membatasi kebebasan hati naluriah. Ini sedikit menyentuh aspek hubungan seorang musisi dengan alat musiknya, ketika memainkan. Sederhananya, seorang penyanyi dalam menyanyi, seharusnya tidak dibatasi oleh pita suaranya. Seorang gitaris tidak dibatasi oleh jari-jarinya. Seorang drumer tidak dibatasi oleh stik dan pedal kaki. Bukan segala fitur benda-benda itu yang memimpin hati, melainkan sebaliknya---hati memimpin mereka. Mereka menuruti sekaligus memenuhi permintaan hati. Mereka bergerak karena hati bergerak. Bukanya hati bergerak karena material itu bergerak. Atau bahkan material itu bergerak, namun justru hati sama sekali tak bergerak---mati.

Ciri-ciri lainya, musisi akan lebih fokus pada hati, intuisi, perasaan, keinginan murni, tujuan keindahan, sambil bisa dikatakan hampir "tidak menyadari" keterbatasan benda-benda material tadi. Musisi merasa senang ketika bermain karena dia tampil dengan prasangka baik, akan tampak pada wajahnya raut muka tulus bersahaja. Baik pada musisi klasik sampai rock sekalipun. Not-not atau nada-nada dibunyikan tanpa tekanan emosional, alamiah. Not dan nada itu semestinya berbunyi sesuai apa yang beralun dihati, dimana direfleksikan lewat alat-alat musik. Tidak ada sikap kik-kuk, bebas.

Ibarat hati adalah turntable, maka alat-alat musik itu ialah phono amlifier, sedang dampak suara itu sendiri merupakan speaker. Jika si musisi bermain sambil membaca not balok, maka script itu bisa jadi vinyl, sedang niat manusianya merupakan jarumnya. Nah, fungsi ini bukanya terbalik-balik, tertukar-tukar, salah kaprah. Saat tertukar, misalnya alat musik mencerminkan turntable dan hati jadi amplifier, maka seni terbaik jadi berantakan. Ini yang saya maksud dibatasi-terbatasi tadi. Akhirnya, proses berhati sedemikian rupa menghasilkan kenikmatan dari cita rasa orisinil si musisi. Kebahagiaan pribadi (dalam relatifitasnya) yang dicinta pemusik itu seolah ikut tersampaikan.

Tanpa hati, seseorang sulit menjalani sesuatu. Mungkin bisa, tapi tidak cinta. Seseorang bisa menghasilkan karya sesuai pesanan, bahkan melebihi kualitas yang diharapkan, tapi mereka tidak menikmatinya sepenuh hati. Menurut banyak survey yang pernah saya dengar, hampir 50-70 persen manusia bekerja tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan---hal yang mereka cintai. Mereka tersiksa di tempat kerja, hidup penuh keterpaksaan. Itu derivasi nilai yang dapat diambil dari kasus ikan dan katak. Bagi ikan, air ialah dunianya, tempat dimana dia bisa bersenang-senang. Kita tidak dapat memaksanya menjadi amfibi layaknya katak. Mungkin bisa. Dia akan tetap girang di air, di darat dia tersiksa.

Persis adagium, "Do what you love and love what you do".
Saya kira, salah satu syarat seseorang dapat mengerjakan sesuatu dengan sempurna ialah, menyenangi pekerjaan tersebut.

Kebanyakan pekerjaan yang tidak diselesaikan dengan baik, umumnya karena manusia menganggap tugas itu tidak penting. Sehingga layak diabaikan. Alasan terburuknya, malas. Saya kira tidak demikian pada hal-hal yang mereka cintai. Manusia selalu takut akan kehilangan sesuatu yang mereka cintai. Akhirnya mereka memperjuangkanya.

 "Saat kita kehilangan segalanya, hal kecil menjadi sangat berharga".

Seorang penyanyi yang cukup "baik", lebih rendah dari "sempurna", tidak menyanyi secara fals. Mengapa menyanyi fals dilarang, sebab fals adalah penyakit bagi penyanyi yang menulari kenikmatan musik secara keseluruhan. Namanya saja orang sakit, mendengarnya menyanyi bukanya senang malah sakit. Ya, itu sedikit dalih yang tidak masuk akal dari saya. Jika anda bertanya bagaimana hukumnya fals bagi seorang penyanyi?. Seorang maestro tentu mengharamkanya, musisi dungu menghalalkanya, "Bagaimana dengan saya?". Sebagai seorang penikmat yang mencoba menjadi pengamat, saya ambil aman saja, hukum fals itu makruh. Benar, anda tidak akan berdosa karena bernyanyi fals, ini tidak ada hubungannya dengan fiqh manapun. Jangan dianggap terlalu seriuslah, toh ini bukan fatwa ulama.

Ini baru yang masuk akal, dari definisi yang lalu musik itu wajib bersifat harmoni, harmonis. Harmoni bermakna keselarasan, berarti berjalan beriringan, berjalan bersama-sama. Ibarat rantai pada sepedah, sedang sepedah itu sendiri ialah karya musiknya. Rantai pada sepedah itu sudah seharusnya berputar dan berjalan dengan selaras. Akor-akor musik dibunyikan dalam tempo dan notasi yang tidak semrawut. Semuanya selaras, dalam satu derap. Coba pikir, bagaimana jika satu partisi rantai tiba-tiba mencelat lepas dari ketersambunganya. Semua rantai lepas, ikatan partisi lainya tidak berguna, sepedah tak bisa jalan. Sejentik fals, merusak estetika lagu secara keseluruhan.


Jadi seseorang dengan suara fals, harusnya berpikir ulang untuk menyanyi di depan umum. Saya sama sekali tidak melarang siapapun bernyanyi. Itu hak setiap orang, and it's not my bussiness. Tidak ada larangan disini, ini hanya saran. Bagi saya, untuk menyanyi di depan umum dibutuhkan kualifikasi. Dan seseorang dengan suara fals sangat tidak pantas. Itu seperti meletakan sampah tidak pada tempat yang seharusnya, merusak estetika kota. Jika anda bersikeras tidak setuju dengan pandangan saya, hanya membuat saya semakin yakin. Itu pasti menandakan bahwa kualifikasi anda sangat rendah, tidak berkualitas. Lalu anda takut bersaing, tepatnya tersaingi.

Meski saja ada fals yang dapat ditolelir, tentu dengan berenteng-renteng segala bentuk klausul yang membubuhi. Mungkin jika ditulis dalam draft, itu sepanjang 1 Km---sedikit berlebihan. Contohnya saja, Slank, band dengan jutaan fans fanatik. Meski suaranya fals, jujur saya sangat terapresiasi ketika seorang Kaka diatas panggung bersama sebuah mic, rambut berantakan, dan teriakan yang khas ala parlemen jalanan berjiwa rock and roll---katanya. Secara sosiologis band yang satu ini memang fenomena yang lain, unik. Meme umumnya, "Apapun band-nya, Slank benderanya", Slank gak ada matinya.

Buktinya dikaset suaranya harmonis?. Yah, di jaman semodern ini, apa sih yang tidak bisa di manipulasi kalau hanya hal sesepele itu. Teknologi sudah sangat canggih boos, mungkin itu juga salah satu bentuk penyalahgunaan---mencederai seni. Seperti yang saya sudah katakan sebelumnya, rata-rata energi sebuah pertunjukan akan lebih terfokus pada citra penyanyinya, yang bahkan hampir-hampir cenderung lebih adesif pada nama band itu sendiri. Ketika kita mendengar nama band tertentu, seketika dari sisi personil, penyanyinya yang paling dingat---lainya tidak penting. Saran saya, jika anda memiliki band dan ingin reformasi personil, "Anda boleh bongkar-pasang pemain siapapun dengan kualifikasi minimal sama atau lebih baik, kecuali penyanyinya". Ini bukan masalah keberpihakan yang pilih kasih. Saya berusaha menyentuh hal yang lebih esensial dari itu, "Ini tentang ikatan batin antara musisi dan penggemar". Biasanya manusia memiliki kenangan-kesan pribadi pada sebuah lagu lengkap serta warna suaranya, si penyanyi. Walau-walau Dewa tetap jalan tanpa Ari Lasso atau Once, buktinya, Ariel dan Sammy tetap eksis tanpa Peterpan dan Kerispatih. Terlepas dari isu antek Yahudi Zionis atau kasus video porno dan Narkoba. Saat komposisi fundamental seni berubah, cita rasa esensialnya hampir total berubah.

Nah, dalam hal fals ini, biasanya masyarakat akan cenderung memberi maaf atas kesalahan seni dengan penggemar masif---sedikit dipaksakan. Lebih dari itu, saya pribadi dan mungkin khalayak banyak menaruh kekaguman atmosfir yang kembang saat anak-anak Slank beraksi. Bahwa ada karisma yang melankolis, jantan, menggugah emosi, liar, bijak, dan aneh mungkin. Itu berkecamuk, susah diungkapkan tapi bisa dinikmati. Selain gaya petakilan, slengek'an, blak-blakan, mungkin ada riwayat yang bisa dikenang dari sejarah masa silam Slank. Sesuatu yang dapat di anut, minimal oleh the dark world's society: Alkohol, Free sex and Narkoba. Dimana hari ini bentuk titik balik mereka bebas dari itu semua, lalu banyak menyuarakan "peace" dan gerakan anti kesesatan itu semua, menebar pesan positif. Ini tentang bagaimana seharusnya menjadi manusia. Beberapa aspek yang memberi alasan masyarakat "memaafkan" Slank, melihat dari sudut pandang lain. Lagi, Kaka bernyanyi dengan hati bung.



"Jika seseorang memiliki karisma sekeren Slank, lantas dia bernyanyi fals, 
mungkin orang akan cenderung memaafkan dia", mungkin. 
Lalu ketika orang berubah pikiran dia bergumam,
"Tidak ada yang salah dengan  semua ini, ini hanya salah paham".
Karir si fals pun meredup.
Awalnya biasanya berdalih, "Buktinya Kaka fals banyak penggemarnya?".
"Iyaa, masalahnya lo bukan Kaka....."

Dalam kasus ini band dengan gaya "sangar" biasanya hanya dapat tumbuh dalam sistem masyarakat yang lebih maskulin daripada feminis. Meskipun industri musik kali sekarang, Indonesia, sedang menggandrungi feminisme sambil mengidolai cowok-cowok berkulit cantik, mata sipit, hidung mancung, bicara super lembut, dan hobi lemah-gemulai jika nyanyi sambil menari balet. Sekarang jamanya boy band. Preman pasar Senen akan menyebutnya bencong lebay, gankster remaja yang terobsesi Genji menyebutnya alay. Dan kita merasa senang-senang saja menikmati budaya yang dijajah. Koreanisasi pasca Westernisasi. Prediksi selanjutnya Indianisasi mulai berkembang lagi mbah, mungkin ketiganya lantas bersaing. Pendapat seperti itu tentu tidak sepenuhnya benar. ya, konsekuensi globalisasi, akulturasi. Dan masih banyak lagi kriteria yang sudah sewajibnya melekat pada penyanyi dengan label "ideal".

"Ideal bagi X belum tentu ideal bagi Y". Nisbi lagi.
"Banyak manusia tidak sepaham dalam banyak hal, berselisih".
"Terutama orang pintar dan orang tolol, mereka selalu bermusuhan".
"Yang membuat mereka tetap rukun, hanya toleransi"

Tapi sebentar, ada yang lebih lucu terkait dengan media, acara-acara show televisi yang memuat produk musik masa kini. Sebagaimana yang kita pelajari dalam ilmu sosial, khususnya major of communication, spesifiknya propaganda, media berperan besar dalam perkembangan: adab, budaya dan bisnis. Kita tahu, seorang song writter akan berusaha menulis sajak seanggun mungkin. Musisi, produser, komposer pun demikian: bekerja sekeras mungkin demi karya fenomenal monumental. Sayangnya para raja media melecehkan mereka. It's look like they not qualified to perform. Ibarat petani, jika item-item: CD, RBT, Vinyl merupakan benih, lalu outlet dan toko-toko retailer ibarat sawah, artinya media adalah air dan pupuk. Disanalah pengaturan irigasi untuk sawah yang digarap berkongsi-kongsi itu. Akhirnya, pundi-pundi rupiah yang ibarat bulir-bulir beras pun dipanen.

 

Masalahnya, semua energi yang dicurahkan para musisi siang-malam bekerja-berlatih terus-menerus mengorbankan waktu yang demikian mahal supaya perfect saat perform, akan sia-sia. Saat, mereka tampil di acara musik TV sebelah, "Bangsyat" dan "Outbox", dimana ketika mereka didepan kamera, yang mereka lakukan tidak lebih hanya lip-sing. Itu lucu, untuk apa mereka punya skill, talent, musikalitas keren, kalau takut tampil berantakan. Mungkin orang awam akan menerima begitu saja, tapi tentu tidak bagi banyak smart society. Bagi cendikiawan, dan apa yang banyak saya dengar pada lingkungan kaum terdidik, menonton seni dikamuflase dan dibuat-buat sangat menggelikan sekaligus jenuh. Lebih jauh dari itu, fakta bahwa masyarakat tau bahwa uforia audiens yang klise kadang karena dibayar. Apalagi, dengan presenter yang konyol, kadang menampilkan bencong, lawakan garing, obrolan murahan berbau sex, menampilkan banyak tindak asusila---semacam eksploitasi ragawi wanita, tingkah absurd, juga suguhan seni yang tidak natural tadi.
  
Parahnya, itu jadi konsumsi harian masyarakat. Membuat ibu-ibu waras khawatir akan masa depan anaknya, kecuali ibu dengan otak terkontaminasi. Tidak ada yang lebih indah selain menonton suatu kesenian dalam cara paling alamiahnya, bak kembali organik menjauhi dunia makanan bersifat kimiawi. Dan budayawan serta para kritikus dadakan itu masih bertanya-tanya, "Apa tidak ada yang bisa mereka jual selain acara murahan seperti itu?", "Tidak adakah yang lebih berkualitas?". Bandingkan dengan M TV, mungkin anda juga menganggapnya tidak sempurna, tapi atmosfir chemistry yang lebih smart setidaknya ada disitu. Yeah, nothing perfect as the world. Kita hanya perlu lebih bijak menggunakan media. Mungkin anda juga ingin merubahnya, sayang kita bukan raja media.

"Observe more, than think better".
"Media seharusnya tidak hanya mementingkan estetika, tapi juga etika".

Mungkin pada merekalah, pelopor propaganda hedonisme yang disalah-pahami, protes para pendidik dilontarkan, "Artis dibayar mahal untuk merusak moral, guru dibayar murah untuk memperbaikinya".

Media hari ini bukanlah media yang dapat mendidik bangsa. Kebanyakan mereka "jualan", sambil menghalalkan segala cara. Tidak peduli apa dampaknya bagi peradaban, business is business, civilization is not my business. Seharusnya media memahami peranya, mendidik manusia supaya beradab. Menjadikanya lebih bermartabat, bukanya terhina.
Menggembar-gemborkan kerja keras, tanpa kerja cerdas. Sehaarusnya artis (pekerja seni), mendobrak, label sosial bawaan "beauty without smart".

Wanita biasanya jadi bumbu yang "nendang" bagi banyak acara televisi. Dengan aurot sedikit terbuka, terkesan seksi, itu cukup ampuh mendongkrak rating. Bagi banyak petinggi peradaban, para ahli moral, itu penyalahgunaan. Bagi media itu inovasi. Modus marketing masa kini, sah-sah saja. Semua orang punya gairah sex, mereka merasa dapat memanfaatkanya dalam promosi, apalagi acara musik. Bagi beberapa penganut feminisme, itu sebuah bentuk eksploitasi jasmaniah, asusila. Dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia, wanita, daripada lelaki, lebih sering mengalami perlakuan distorsif memang. Yang aneh, "Lelaki menjajahnya, kadang tunduk kepadanya". Barangkali tampak seperti apa yang dituangkan oleh Ismail Marzuki dalam "Sabda Alam" yang entahlah siapa penyanyi pertamanya. Yang jelas selain beliau sendiri, sajak melodis itu pernah dinyanyikan Ebet Kadarusman, Rien Djamain, dimana belakangan di refresh dengan beberapa aransemen dan dibawakan kembali oleh White Shoes & The Couples Company.

Diciptakan alam pria dan wanita
Dua makhluk dalam asuhan dewata
Ditakdirkan bahwa pria berkuasa
Adapun wanita lemah lembut manja

Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu
Namun ada kala pria tak berdaya
Tekuk lutut disudut kerling wanita

-Sabda Alam-
By: Ismail marzuki

Menghasilkan sebuah karya musik, lagu, dapat membuat seseorang amat tersohor. Diidolakan, dielu-elukan orang. Umumnya musisi membuat lagu memang untuk disebar luaskan, jarang untuk dirahasiakan. Lagi-lagi peran media sangatlah dibutuhkan disini. Lagipula banyak tidak ada gunanya juga merahasiakanya, kurang kerjaan. Toh, membuat lagu sangatlah mudah. Buat saja sajak sederhana, lalu musikalisasi, selesai. Anda bisa konser besok, tapi saya tidak menjamin akan ramai penonton. Anda tidak perlu lulus dari Universitas musik ternama untuk melakukanya. Musisi level advance membuatnya hanya dalam 15 menit, level intermediate menyelesaikanya dalam 15 jam, para beginner mungkin 15 hari. Bahkan anak sepuluh tahunan pun melakukanya dengan baik, tentu jika dia genius soal musik, sejenius W. A. Mozart. Lantas bagaimana membuat sajak?. Baik, akan saya contohkan satu bait, dengarkan baik-baik.






Safari punya pangkal pun punya ujung
Berjalan dimulai tur diakhiri
Mungkin nanti, esok, atau lusa.
Rintik di puncak itu muara ke laut.
Menghampari sampan berlarung.
Sampan di pelabuhan memang aman.
Duh bukan untuk itu sampan dibuat.

 

Nah, tinggal musikalisasi saja. Itu sedikit mewakili tema non-cinta. Meski saja ada juga metode membuat lagu dengan menciptakan notasi-notasinya dahulu, baru mencipta syair sambil menyesuaikanya, suatu kata-kata yang responsif, fleksibel, dapat diubah-ubah. Biasanya hasilnya sajak tidak tulus, terkesan dipaksakan maknanya. Saya mengajarkan yang lebih anggun.

Selain intuisi, alat yang wajib anda libatkan saat membuat lagu ialah, insting. Sesuatu yang menurut banyak orang tidak didapat dari proses panjang penalaran logika dan perbenturan rasionalitas. Mereka ada karena memang seharusnya ada, itu anugerah Alloh yang Maha Bijaksana, bakat dasar sejak lahir. It's gifted to launch a human birth. Hadiah promo karena kredit hidup, saat manusia mulai bersedia menjalankan tugasnya, being a human. Keduanya merupakan bakat lahir. It's common sense. Or human being it's self, which is filogenetic, that usually constructed sociologically. Keduanya dapat menerima suatu rangsangan, dan begerak secara reflek, kadang tidak menentu, juga sulit ditebak, tebakan yang biasanya berupa prediksi awal, asumsi alamiah. Itulah mengapa dari keduanya, maka membuat sebuah lagu dibutuhkan "spontanitas".

Jika kebanyakan manusia mempersamakanya, saya membedakanya. Intuisi bagi saya adalah perasaan, suatu kodrat fitrah yang mendilematisasi manusia tentang dua hal: apa yang dapat diyakini dan apa yang tidak. Dia memperdebatkan "ada" dan "tiada", secara khusus "maksimal" menjawab pertanyaan apa. Meskipun dalam menjawabnya, apa, dibutuhkan insting. Lalu apa itu insting?. Jika intuisi alatnya, maka insting prosesnya. Insting juga merupakan bentuk tindakan "merasa", hanya saja  sedikit lebih komplek. Sebab dia melibatkan beberapa unsur kordinasi indrawi, mengaitkan beberapa informasi dasar, dan analisis lebih jauh untuk mendapatkan konklusi. Kordinasi kesatuan proses itu mengadung campur tangan hati dan akal, unsur jiwa dan raga. Intuisi memberikan jawaban sebatas hanya pada apa, selebihnya: siapa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana---akan dijawab dengan insting. Dimana insting akan mengaplikasikan beberapa metode analisis: kausalitas, kesesuaian teoritis, nilai keilmiahan, dll, juga penalaran lebih panjang. Namun, meskipun pada "apa" kadang melibatkan salah satu atau salah duanya, jenis pertanyaan ini dapat dijawab dalam penafsiran konklusi yang take for granted. Menerimanya begitu saja, "Just trust, don't ask!".

Nah, seseorang dapat saja merekrut lulusan terbaik dari UI atau ITB, Harvard atau Oxford dengan IQ 170, yang semua nilainya fully A perfect, yang lulus cumlaude dalam waktu singkat, tapi jika dia tidak memiliki insting, selamanya tidak akan dapat membuat lagu. Bahkan gelar Ph.D sering tidak berguna. Dalam hal ini ijazah tidak membantu apapun. Lalu apa hal penting lain yang dapat membuat musisi tetap eksis berkarya. Jawaban saya sederhana saja, "Ide dan gagasan". Bahkan seseorang yang menerima Grammy Award sekalipun tidak akan dapat mencipta lagu terjelek tanpa ide dan gagasan. Jangan melupakan insting, naluri, ide dan gagasan, naturalisme, juga spontanitas. Insting tidak dapat diprediksi, biarkan saja reflek mengalir. Sadarlah, beberapa hal tidak dapat kita kendalikan. Dia akan berjalan sesuai inspirasinya. Seorang musisi yang baik selalu terinspirasi sekaligus menginspirasi.
 

"Tetaplah menjadi terkesan...."
"Dunia tidak indah saat manusia menganggap segalanya biasa saja".
"Manusia menjadi sombong saat menganggap segalanya biasa saja".
"Peradaban terbaik mengajarkan optimisme, menghargai skeptisme,
tapi melarang sinisme".
"Kekaguman membuat hal sederhana menjadi menarik untuk dinikmati, 
merubah hal sepele menjadi penting".
Sinisme menjadikan yang luar biasa sama sekali tidak penting. Abai. Acuh.
Dengan terkesan, kita mendapati passion, 
yang adalah juga bumbu terbaik berkarya.
Dengan segenap ketulusan, karya-karya terbaik akan diciptakan.
Anda tidak dapat menginspirasi tanpa terinpirasi.

  
Lantas, apa itu alat musik?. Menurut anda?.

Fakta lainya, setiap orang pada satu waktu tertentu, jika mendengarkan suatu lagu atau musik yang sama secara terus-menerus---tentu akan mengalami kebosanan. Titik jenuh. Dalam filsafat kebahagiaan pun kita manusia mengenal apa yang dirasa sebagai "titik jenuh" atau "titik bosan". Yang terjadi saat suatu kebahagiaan mencapai titik klimaksnya. Saat semuanya terkesan monoton, itu-itu saja. Makanlah dengan menu bakso selama setahun, jangan kau ganti, kau akan bosan. Seenak apapun kelihatanya pada awalnya. Mungkin, yang saya pahami, manusia lebih condong pada hal-hal unik. Sesuatu yang jarang, berbeda, sedikit, bahkan tunggal, namun indah. Barangkali jenis keindahan itu pun lagi-lagi, relatif. "That is not a sin to be different", asal wajar. Dan saat segala indah yang jarang-jarang itu, segala indah yang sedikit-sedikit itu dinikmati tanpa selingan terus-menerus, kebosanan pun datang. Lalu manusia tak henti berburu keunikan lain yang diharap masih tersisa. Hal sama yang dilakukan berulang-ulang, apapun itu, "cenderung" menciptakan rasa jenuh a.k.a. bosan. Nisbi atau pun intuisi sendiri tak dapat mengakomodir solusi yang tepat, selain beralih fokus kepada hal lain.

"Kecuali kenikmatan sejati". Kenikmatan yang sesungguhnya, abadi.
Suatu jenis kenikmatan yang tak lekang oleh waktu. 
Itu ada. Dan itu bukan musik.

 Tapi para musisi mestinya masih dapat menciptakan karya yang setidaknya mendekati hal tersebut, mendekati kekal. Ada banyak karya legendaris yang sejak ratusan tahun lalu masih diputar di sudut gang-gang dunia kesenian, di lubang-lubang telinga manusia modern. Sebut saja W. A. Mozart dan Beethoven, The Beatles, Stevie Wonder, Michael Jacson, Whitney Houston. Ada juga Ismail marzuki, Chrisye, Vina Panduwinata, Rhoma Irama, Elvis Presley, Elvi Sukaesih, Mbah Gesang, Koes Plus, Sundari Sukoco, dan jutaan lainya. Yang meskipun sudah lawas, lagu-lagunya masih nikmat didengar sampai hari ini. Dapat diterima masyarakat multi-peradaban, kebal meskipun alih era. Tak hilang dimakan zaman. Pada "umumnya", itu tanda kualitas. Bahwa, "Apa yang mereka sentuh telah menjadi emas".

Karya mereka hidup bersama jam tanpa jarum. Jam dinding. Yang meski berputar tampak tidak menunjukan waktu yang berubah. Bukan jamnya lupa, tapi manusianya yang lupa betapa waktu sudah berganti.

Ada satu kata yang menurut saya begitu identik dengan para musisi. Saya tidak yakin anda akan menemukanya di KBBI, itu mungkin sulit diakui dengan dalih tidak baku. Tapi menurut saya bahasa itu diakui karena ada "kesepakatan". Ya kalau saya sepakat pun anda sepakat, suatu komunikasi yang dapat dipahami bersama maknaya, itu berarti bahasa. "Ngamen". Definisinya, mencari rejeki dengan berkeliling mengharap kedermawanan manusia sambil menghibur dengan suatu penampilan seni, halusnya "memaksa" manusia menukar uang dengan musik, mengakali manusia membeli hiburan. Sedikit terkesan ambigukah?. Untuk masa sekarang, makna tersebut bisa mengalami peyorasi atau sebaliknya.

Menurut saya "Ngamen" itu suatu singkatan. NgaMen : Ngaji & Menyanyi. Meski saja, nabi kita bukan musisi. Pada dasarnya infotainment tidaklah haram. Infotainment merupakan gabungan dari kata information dan entertainment, yang berarti informasi dan hiburan. Manusia membutuhkan informasi, tentu yang benar dan bermanfaat. Islam juga memperbolehkan hiburan, agama tidak melarang manusia menikmati kesenangan untuk membiarkanya dalam kejumudan. Termasuk menikmati musik. Selama tidak keluar dari syariat. Ngaji dulu, baru nyanyi.




"Ngaji sek Leee....Ngaji ngaji...."






Sejauh yang saya tahu.
"Pada dasarnya hukum segala sesuatu itu boleh, selama tidak ada dalil yang 
mengharamkanya".
"Pedang itu, tergantung pada siapa yang menggunakan".

"Saya putar yang lain ya, Sajadah Panjang, cover Peterpan bolehlah..."
"Dilanjut Tombo Ati-nya Opick....." 

Lantas bagaimana dengan musik yang dinyanyikan sambil telanjang?, telanjangnya yang haram, musiknya tidak. Lalu musik yang ditampilkan sambil bergosip?, ghibahnya yang haram, musiknya tidak.

Terkait dengan variatifnya selera musik seseorang, biasanya, sangat erat hubunganya dengan apa yang sering ia dengar di masa kecil. Masa dimana karakter dasar manusia dibangun. Secara khusus, pengaruh yang ditanam orang tuanya. Secara umum, apa yang secara langsung maupun tidak langsung diajarkan oleh teman sebaya. Norma yang pada akhirnya dapat diterima sebagai kebenaran. Pelajaran kecil tentang, bagaimana bersikap didepan publik, dan pencarian menyangkut apa yang dapat ia senangi. Something that made someone felt comfort.

Contohnya saya, ayah saya adalah seorang pecinta musik Jazz, klasik, country, blues, slow, pop, keroncong, dan dangdut, yang berusia lebih dari setengah abad. Dia dulunya adalah seorang basis sebuah grup musik. Zaman itu musisi bukan pekerjaan populer, musik berkualitas hanya milik bangsawan. Sebab sering mendengarnya, jenis musik diatas adalah yang paling saya cintai, meskipun secara harafiah saya bisa menerima genre musik apapun; rock n roll, rege, alternatif, dangdut koplo, melayu, campur sari, R n B, hip hop, dst. Dan sebagai musisi amatiran, kebutuhan hidup pun berubah menjadi 5 sehat 6 sempurna, yang ke enam musik. Sampai-sampai saya merasa, kecerdasan musik saya jauh melampaui rata-rata untuk anak pada umur yang sama. Apa lagi saya mencintai sastra sejak kecil, sering menulis puisi atau sajak sederhana untuk ditelantarkan.

Di masa saya beranjak dewasa, pada akhirnya, saya dapat mencintai setiap corak warna pelangi itu, menjadi pribadi multiwarna. Yang mencintai semuanya dalam kesatuan, dalam perbedaan. "Bukankah pelangi itu indah karena berbeda". Memahami musik sebagai bahasa universal, suatu komunikasi yang umumnya dapat diterima oleh naluri manusia normal, sebagai sebuah seni yang disampaikan. Bukan lagi berdebat tentang, mempersoalkan, bahwa Jazz keren, Klasik cengeng, Pop terlalu mainstream, Keroncong khusus orang tua, dan dangdut "ndeso" atau Rock urakan. Kadang saya dengar Mozart atau Beethoven, Brian McKnight atau Michael Buble, Depapepe atau Yiruma, lagu-lagu Disney, Yves montand atau Oxmo Puccini, Michael Jacson atau Mariah Carey, Rossa atau Raisa, Kansas atau The Carpenter, Kahitna atau Marchell, The Beatles atau Queen, Gesang atau Didi Kempot, Rhoma atau Elvi, bahkan lagu anak-anak.

Menjadi tenar dengan menjadi artis mungkin adalah hal yang diimpikan banyak orang. Ya, manusia gila pujian. Pamer akan menjadi hobi, selain ingin cepat kaya. Setidaknya itu alternatif terbaik daripada pergi ke dukun, memelihara tuyul, atau ngepet. Kehidupan dan cerita artis adalah konsumsi harian publik, bagian dari kenikmatankah?. Bisa jadi, jika berita politik-ekonomi adalah nasi, infotaiment adalah lauknya. Artis, pada akhirnya akan menjadi selebritis. Artis artinya pekerja seni secara umum, selebritis itu orang terkenal, kalau aktris lain lagi, aktris artinya pekerja seni peran wanita: bisa jadi film atau iklan. Jangan disalah-fahami, mengapa banyak orang bingung soal perbedaan ini?.

Artis era kini memang identik dengan kemewahan, hura-hura, hedonisme, dan glamor. Di bagian kesimpulan otak-otak murahan, satu musisi sukses sudah cukup menggeneralisir nikmatnya menjadi artis. Faktanya, banyak artis melarat berserakan dimana-mana: jalanan, rel-rel kereta, pasar. Dan fenomena itu tidak mengandung unsur "pencapaian besar" atau "horor" yang impresif untuk menggairahkan fantasi bahkan menakuti masyarakat. Sehingga media tidak pernah mengangkatnya. Oleh karenanya, saya tidak pernah sepenuhnya percaya pada televisi. Hal yang sama membuat masyarakat menjadi skeptis terhdap iklan, manusia takut masuk perangkap tipuan. Itu semua berita bohong dari presenter bermulut besar yang berbicara sampai bibir berbusa.

Diwawancarai media adalah saat-saat selebritis harus terlihat sempurna. Mereka berlaga sekeren mungkin, bicara sebijak mungkin, bersikap sesopan mungkin, berusaha menunjukan bahwa mereka care pada pemuja mereka. Akhirnya dari lensa kamera, mereka tampak sempurna di layar televisi, meskipun pada dasarnya tidak. Penonton tertipu. Umumnya manusia hanya melihat satu episode dari keseluruhanya, yang kebetulan bagian terbaiknya. Melihat seorang pendaki menikmati sunrise atau sunset dari puncak Everest tampak mengagumkan. Realitanya, orang jarang fokus pada betapa beratnya perjuangan mendaki sejak dari rumah. Orang sukses yang rela meninggalkan hangatnya tempat tidur mendatangi kulkas dibawah nol derajat hanya untuk melakukan pembuktian.

Selebritis, khusus artis, lebih spesifik musisi, adalah juga the center of media. Dalam ilmu komunikasi dan propaganda, mereka dijabarkan sebagai individu-individu yang memiliki sedikit-banyak pengaruh memikat konversasi. Ini tentu menyenangkan bagi industri media, hal yang memicu mereka dibanjiri pesanan iklan, artis were news maker. Saya tidak mengatakan sepenuhnya, media mencintai musisi. Kadang mereka menulis yang positif, kadang yang negatif. Tapi dari sudut pandang bisnis, keuntungan diberitakan jauh lebih baik dari pada tidak diberitakan. Ini terkait erat dengan taraf eksistensi dan kepopuleran seseorang, disaat media sudah menganggap seseorang tidak layak untuk diberitakan, karirnya mulai redup. Saat itulah lampu kejayaan dipadamkan. Saya tidak memungkiri, mendapat ulasan bagus tentu lebih menyenangkan.

Pemahaman tentang sifat-sifat dasar, "cara kerja media" sangatah penting. Terutama bagi mereka yang sampai hari ini kekeh bercita-cita sebagai artis legendaris, bukan sejenak datang lalu pergi, tampak aji mumpung. Secara esensial, maksud saya, ini tentang pemasaran. Anda dapat saja memiliki pruduk terbaik di dunia, tapi jika tidak ada orang yang mengetahuinya, itu sama sekali tidak bernilai. Ada banyak orang yang memiliki suara jauh lebih baik dari Syahrini atau Saiful Jamil. Bedanya, Syahrini & Saiful bernyanyi diatas panggung ditonton banyak orang, sedang The Talented People benyanyi di kamar mandi dimana tak seorang pun mengetahui bakatnya. Sebagai gantinya, mereka puas hanya dengan menonton artis karbitan dari layar televisi 15 inci di rumah. Menikmati hiburan kualitas standar yang lebih rendah dari harapan mereka sambil berobsesi menjadi "judge" kompetisi bergengsi, tampak keren dengan menghujat-hujat. Bagi saya pribadi, itu adegan yang menggelikan untuk dinikmati di kehidupan nyata. Kebahagiaan dan kesengsaraan yang dikemas lucu.

Sampai-sampai saya berpikir, ini hal sederhana yang disepelekan banyak manusia jenius. Dimana memperbesar jumlah orang-orang gagal dengan bakat. Terbahak-bahak, riwayatnya mungkin seperti saya. Selain soal kesempatan, kebanyakan kesuksesan dibidang musik juga soal pilihan hidup. Menyadari bahwa, "Tidak semua yang berkilau adalah berlian". Saya termasuk yang percaya, bahwa Tuhan dengan kebijaksanaanya telah menganugrahi beberapa orang suatu bakat lahir. Bakat sebagai suatu hadiah cuma-cuma yang tidak didapat mereka yang kurang beruntung. Saya sebut mereka The Lucky Sperm, seseorang lahir lalu tiba-tiba menyadari mereka begitu bertalenta. Itu keberuntungan yang enak didengar.

Pada akhirnya seseorang dengan bakat akan berseloroh,
“Bakat lahir tidak banyak membantu....”
“Beras tidak akan menjadi nasi tanpa dimasak.....”

Tapi bakat, yang saya pahami, ibarat berlian yang masih kasar. Mengasahnya adalah dengan ketekunan untuk terus belajar. Terus mencoba dan mencoba, bangkit dan terus bangkit saat jatuh gagal. Sampai bermetamorfosa menjadi berlian masterpiece. Menjadi yang terbaik di toko perhiasan memang tidak mudah. Tapi, "JIka tidak terlahir, jadilah yang terlatih". Keduanya sama-sama punya kesempatan mendapatkan penawaran tertinggi di pelelangan berlian. Hanya saja, seseorang  denga bakat terpendam telah mengambil start lebih dulu. Sehingga yang tidak berbakat harus bekerja lebih keras dalam persaingan. Seperti kisah Ronaldo dan Messi. 

Musik, yang saya pahami, setidaknya---jika enggan dikatakan mutlak, telah membantu pemerintah didalam menenangkan jiwa-jiwa. Ruh yang terancam bahaya laten putus asa atas rahmat Tuhan akibat kondisi sengsara yang bertubi-tubi, kesenjangan sosial merajalela. Jika ulama berkata ada baiknya mengobati jiwa yang sakit itu dengan membaca kitabullah. Salah sak wijine tombo ati iku, moco qur'an lan ma'nane. Tapi bagi mereka yang tidak berpikir demikian, yang lebih cenderung memaknai kebahagiaan dengan bersenang-senang itu sebagai hura-hura, atau sekedar sejenak menyelingi kepenatan memperjuangkan cita-cita utopis negara menyejahterakan rakyat---tanpa terkecuali. Maka membahagiakan diri dengan musik menjadi cukup relevan daripada seseorang memilih menembak kepala presiden atau membuat teror bom sebagai bentuk rasa kekecewaan.

Selain dari hal itu akan menambah PR negara, seringkali yang dilakukan justru salah sasaran. Bukanya para koruptor, gembong narkoba, mafia migas, pencoleng Freeport, kontraktor gadungan, atau hakim dzalim yang mati---malah masyarakat sipil jadi kambing hitam. Lebih-lebih jika, masyarakat melarat yang meskipun sudah mati masih wajib membayar pajak tahunan kuburan mereka ke pemda Jakarta. Benar-benar keputusan menyedihkan, sungguh logika yang sulit dipahami.

Bahwa dapat diterima sebab masuk akal, pendapat yang menyatakan jika manusia miskin itu lebih cenderung berbuat kriminal. Bahwa tingkat kemiskinan berbanding lurus dengan tingkat kriminalitas. Saya akan berpikir seribu kali untuk berlaku kriminal, jika saya kaya. Toh saya memiliki segalanya: uang, rumah, mobil, pendidikan, status sosial. Kemungkinan besar saya berlaku plegmatis. Masalahnya yang dipahami kebanyakan orang, pemerintah tidak pernah benar-benar mewujudkan itu. Rakyat menganggap institusi jadi-jadian itulah yang harus bertanggung jawab atas semua itu. Seolah-olah takdir kaya dan miskin itu ditangan mereka.

Sudah saya siratkan sebelumnya, musik akan membawa setidaknya secercah kedamaian dalam batin, walau bagi manusia paling sedih sekalipun. Dan menurut saya semua setuju jika orang miskin itu cukup identik pada, sedih. Yaah, benar, sedikit menyedihkan juga. Ketika musik menenangkan jiwa-jiwa tadi---si miskin, tentu sedikit-banyak membantu menahan kecenderungan mereka berbuat kriminal. Paling tidak memacu mereka berpikir lebih waras untuk tidak melekatkan status tersangka, terpidana, sekaligus residivis. Itu ibarat melempari si miskin kelaparan secuil roti yang memenuhi seperempat perutnya, sekedar memperlambat mereka berlaku kejam dan liar. Berharap sekilas menyadari betapa masih ada hal-hal menyenangkan yang begitu mudah didapat, tanpa harus memahami segalanya dari perpektif materialistis---memiliki banyak harta-harta. Kesenangan sesaat yang dihasilkan musik, cukup membuat hati lebih tenang dalam kesederhanaan. Sesederhana musik.

Hari ini musik berlantun di kamar-kamar gelap, berirama di pesta-pesta, berdentum di klub-klub, berputar di pasar-pasar, beraduan di jalanan, memanjakan banyak telinga manusia. Bahkan, adakalanya unsur-unsurnya menyisip di doa-doa pada Yang Kuasa. Atau pada ibadah-ibadah sesuai tuntunan agama. Dia begitu berdampaknya pada jiwa sehingga diadabkan dalam amalan-amalanya. Yang diucap lirih dalam ketakutan, kehinaan, dan penghormatan dalam suatu tempo tertentu. Berikut intonasi nada hati yang mengiringi perasaan, damai. Do'a yang juga dipercaya manusia membawa pada bahagia. Jika manusia percaya. Pada do'a, dan pada unsur musik yang membawa rasa indah dalam dada. 

Musik menghentikan sumpah-serapah sopir angkot sebab membosankanya kemacetan. Musik diajarkan pada balita di TK-TK. Musik berdangdutan di pos-pos keamanan. Musik menemani manusia makan di angkringan. Musik diputar menemani pelajar belajar. Musik berjalan meminang kembang perawan. Bahkan diperdengarkan sejak di janin bunda. Dan musik, bersholawatan di acara-acara pengajian.


Ide, imaji, diskursus, notasi,  analisis, perdebatan, solusi, sindiran, dan apapun; yang dibaca dalam damai. Diatas. Sebagai baris-baris kata berjeda-jeda, nun kita pahami kata-kata akan mati tanpa spasi, cuma catatan-catatan sederhana yang berusaha ditorehkan. Tumpukan prosa-prosa mini yang berevolusi jadi maksi, untuk tujuan sesederhana bahwa: barangkali dihari-tuaku nanti dalam duduk-ku menikmati senja bersama secangkir mocca, bergeming, lantas berpikir tentang seni musik dan suatu kenikmatan, aku dapat membacanya kembali. Sekedar menyadari, aku sempat berpikir. Menurutku, itu hadiah kecil yang merekahkan senyum seorang renta. Memang bukan segala penjelasan, ketahuilah tidak ada yang mampu. Dunia tidak pernah dapat dijelaskan dalam satu dua lembar kertas atau satu dua jam bicara. Rapi tak rapi, ini bukan tesis doktoral bukan juga roman. Hanya catatan. Sebuah prosa yang sulit didefinisikan.

Bisa jadi, pun sebagai cetus-cetus yang tak kupahami, mungkin juga sebagai pelarian. Dari kebosanan pada bahasan politik, yang itu-itu saja, yang mencapai titik klimaks sejak bertahun-tahun lalu. Yah sama, butuh beralih fokus. Lalu, seolah ada yang menuntun untuk sejenak kembali pada apa yang daku cintai sejak kecil; Agama, Filsafat, Sastra, dan Seni---termasuk musik yang sempat kusalahpahami. Akhirnya, menelurkan beberapa rangkai catatan cukup memuntahkan apa-apa yang menyesakan otak, ide-ide usang sedekade lalu atau juga sambil mencoba perpektif baru hasil mutasi nalar. Mencuatlah rasa lega itu, setidaknya untuk beberapa saat. Kita nikmati sajalaah, mungkin juga aku menyusun ulang rencana. Jika lebih baik, kenapa tidak.

"Aku pernah berencana menikmati musik, dan masih berusaha mewujudkanya".

Dari sekian catatan-catatan kecil yang sistematikanya tidak cukup struktural, manusia ketika berpikir tentang musik hendaknya memperhatikan beberapa aspek kelebihan dan kekurangan dalam diskursusnya. Dari perspektif agama, ulama berbeda pendapat dalam hal ini.  Meski saja ada yang secara tegas berpendapat musik haram pun sebaliknya. Adapun yang menghalalkanya, memiliki beberapa syarat tertentu. Menghalal-haramkan demikian, tentu dengan dalil.

Yang jelas suatu kebahagiaan yang ditimbulkan oleh suatu komposisi nada-nada berikut sentuhan musikalitas demikian mampu menciptakan dampak rasa yang membahagiakan pendengarnya. Itu mungkin sedikit sukar dimengerti, tampak mistis. Kesimpulanya, kebahagiaan, dapat timbul dari bebagai sumber---termasuk musik. Namun, kebahagiaan, kadang hanya soal rasa pasrah. Dimana manusia tidak merasa terbebani oleh apapun. Saat rasa hidup jadi bebas dalam arti "rela" menjalaninya meski dibebankan kewajiban atasnya. Manusia hanya perlu lebih mengerti apa arti sesungguhnya bekerja. Kondisi itu sering timbul bukan sebab seseorang memiliki segalanya yang terbaik. Tapi karena seseorang mampu menerima dengan lapang dada apa yang mereka miliki. Merasa cukup. Puh bahagia itu sederhana.



"Kebahagian hanya soal rasa syukur....."
"Apalah artinya hidup, jika tidak mengerti, 
apa arti sesungguhnya menjadi manusia".



Kebahagiaan mungkin saja timbul dengan sendirinya, tanpa dibuat-buat, bahkan tanpa ritual-ritual khusus yang terlalu rumit untuk dipahami. Kebahagiaan sederhana yang dibentuk oleh tingkat espektasi manusia dan keadaan sesungguhnya di realitas dalam kesesuaian yang "setara". Tentunya jika kita, sekali lagi, "Berdamai dengan diri sendiri". Kesedihan akan mencuat saat ekspektasi tadi dan juga realitas berat sebelah---timpang. Harapan yang terlalu tinggi atau realitas yang terlalu rendah. Kebahagiaan menjadikan neraca ukur keduanya seimbang---setara. Atau sebaliknya, "kesetaraan" itu justru menciptakanya. Qona'ah menciptakanya. Berqona'ahlah, tapi teruslah berharap. Tau maksudku kan? jika tidak anggap saja mengerti.

Dengan segala keterbatasan kita, di kelelahan alam pikir sepanjang nalar, setidaknya kita dapati konklusi sederhana. Kebahagiaan bukan berarti tidak ada, sesuatu yang mustahil. Hanya yang mustahil, mendapati kebahagian yang sepenuhnya tanpa unsur kesengsaraan. Nothing free lunch. Semua ada harganya. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk hal yang ingin kita dapatkan. Sekecil apapun itu, pengorbanan minimum tak pernah alpa. Tak ada kebahagiaan tanpa berpayah-payah. Musik sedikit membantu.

Jika ingin melihat kebahagiaan dalam suatu kebebasan, mudahnya, perhatikanlah anak-anak. Menurut pengalaman kebahagiaan kebetulan itu, lebih sering terjadi di masa itu---"kesetaraan tadi muncul". Selain dari masih sucinya hati, mungkin manusia di masa itu belum mengenal hal-hal semacam: kebohongan, pragmatisme, persaingan, atau perang dalam bentuknya yang paling mengerikan. Masa dimana manusia belum sesungguhnya mengenal arti rasa takut dan harapan. Itu tidak mutlak, tapi sering membantu. Senakal apapun yang mereka lakukan, mereka tidak memiliki tendensi apapun. Selain sekedar menjalani hidup, alasan yang begitu sederhana. Tulus, tanpa kepura-puraan. Dengan kesucian hati sedemikian rupa, seolah kebahagiaan tampak pasti. Pada akhirnya, bersama ungkapan "kebebasan" versi kita tadi, manusia meracik nada-nada bersama bumbu musikalitas artistik di dapur seni. Lalu, menikmatinya dimeja saji.


"Tetaplah menjadi anak-anak...."
"Jangan tumbuh dewasa....."






Denny Chasmala, Me, and Rian D'Masive












By : The Running baby
             International relation scholar

No comments:

Post a Comment

Please comment by your kindness....thanks for your visit... : )