Monday, November 3, 2014

Unanswered Questions about Money




Are this is the real money?


Unanswered
Questions about Money









"There is no question without answer"


         

  Saya sempat berpikir, seharusnya didunia ini tidak perlu ada jual beli. Lalu saya ragu-ragu soal itu. Ekonom berpendapat di banyak teks-teks buku pengantar ekonomi, bahwa peradaban yang tumbuh semodern ini tidaklah mungkin terjadi tanpa adanya campur tangan ide sosial yang diucap sebagai “sistem ekonomi”. Sistem yang digadang-gadang sebagai metode yang mempermudah manusia dalam urusan “tukar-menukar barang dan jasa”. Menyelesaikan masalah mereka yang cek-cok dengan dalih, “...sangat tidak adil jika kambingku hanya ditukar oleh sejentik peniti....”. Gumam, dalih itu hanya ada dimasa primitif---tentu. Dan si alim pun urun rembung, “Dunia tidak indah tanpa masjid dan pasar”.

“Ya, mungkin benar”, dalam benakku.

Bahkan nabi pun berjalan dipasar-pasar, hanya untuk bisnis, “bertukar-menukar barang dan jasa”---berekonomi.

            Dewasa ini, jika dunia---anggap saja masih--- yang penuh keributan eksentrik berikut tata hukum serta adat-istiadatnya penuh kemanfaatan dimensional. Mengapa pada hari ini kemiskinan masih menjadi status jahannam yang membakar optimisme humanis. “...Malu.....ya, malu...bisa jadi...”. Kemiskinan adalah monster destruktif bertangan jahil yang sampai hari ini masih berusaha dibunuh Supardi, 47 tahun, dengan senjatanya---bekerja 17 jam per hari, sebagai buruh pabrik timah seumur hidup. Dia istiqomah melakukan bukan karena baginya memangul ratusan wasak timah justru ialah hobi olahraga yang menyenangkan, sembari memperindah otot bersiap mengikuti kompetisi bina-rangka sebagai atlet nasional---bak Ade Rai. Menyelam sambil kencing---terkencing-kencing, lebih tepatnya. Namun musik keroncong yang diputar dari perut istrinya dan tiga anaknya yang putus sekolah lah yang membuatnya menari, sambil mengemis sesuap nasi. Dan peluru dari senjatanya adalah, “uang” a.k.a “money”.

            Bukan hanya supardi, bahkan saya sendiri tentunya, pelor-pelor itu sangat penting. Bagamana tidak, “uang”, apapun alasanya, telah jadi alat yang “pada awalnya dengan segenap kerelaan” dan “pada akhirnya dipaksakan” wajib diterima sebagai alat pembayaran---satu fungsi hakikatnya. Sebagai orang tolol yang tak pernah makan bangku sekolah---cuma orang yang lebih tolol dari saya yang mau makan bangku---sejak kecil, saya pun bertanya-tanya mengapa ada uang?. Dan sejak pertanyaan pertama menyangkut segala diskursus tentang eksistensi uang terjungkat, maka munculah pula pertanyaan fundamental bin esensial yang membuntutinya. Sebagaimana hakikat pertanyaan itu sendiri bagi saya, “Pertanyaan tak pernah punya jawaban terakhir”.

            “Time is money”...

            “Money is time”...

            “Money is cause of all evil”...

            “Money talks”...

            “Ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang”...

            “Just Duit”....
           
            Uang, benar-benar “menyinggungi” sekaligus “menyinggung” hidup kita. Sering membentuk “vice versa” atas ide, ...”Life is not for to eat, but we eat to life”. Seberapa penting dia dalam subjektifitas berikut relatifitas kita. Sampai tak hanya kata “Ya” bagi juragan, bahkan jiwa-raga-nyawa pun jadi taruhan. Edan jabatan. Bahkan tak sungkan, sampai lancang tak ber-Tuhan. Rela mencium setan. Sedikit meterialistis, “uang sangat penting”.

Seseorang berkutat, “Cinta dunia itu haram, tapi cari dunia itu wajib”.

            Anggap saja anda mengenal saya dengan baik, bukan sebagai orang dewasa---tapi sebagai anak-anak. Namun jujur, bahkan sampai hari ini pun saya masih merasa belum dewasa. Baik, saya adalah seorang anak-anak dengan segala keluguannya yang imut-imut dan rasa ingin tau selevel langit ketujuh mepet Arsy. Lalu saya bertanya dengan kerendahan hati tingkat nabi---pertanyaan-pertanyaan sederhana, yang sebelumnya sambil kupikir “Bagaimana fase perubahan pola raut muka anda, bagaimana gaya “boker” anda hari ini, dan apakah cara “ngupil” anda akan berubah...?...juga akan menjadi ingusan...?

“Apa itu uang?”.....Asal usul uang.....

“Apa fungsi uang, apakah itu penting?”....

“Mengapa dulu, siapapun boleh mencetak uang secara bebas, tapi tidak untuk sekarang?”.....

“Mengapa dan bagaimana “sismon”---sistem moneter uang, beralih dari standar emas dan perak sampai ke standar fiat (kepercayaan)?”.....

“Bagaimana proses dan sejarah logis perubahan bentuk uang barang ke emas dan perak lalu ke kertas lalu ke plastik dan ide terbaru “uang digital” yang serba elektronis?.........

“Pentingkah sistem perbankan saat ini?, dan bagaimana pengetahuan tentang rantai sejarah munculnya bank itu sendri yang terputus di peradaban kecil otakku?”...

“Bagaimana jika pemerintah sebagai otoritas penjamin uang runtuh?”...

“Mengapa inflasi yang selama ini memperkosa uang itu sendiri tak kunjung menaikan nilainya, namun justru ia buat terus berdegradasi?”....harga-harga akan tanpa pernah berhenti naik membumbung....hanya menjemput resesi di tikungan....

“Benarkah bank sentral hanya mencederai nilai uang?, benarkah mereka “bank dan pemerintah” sedang  membodohi kita?”.....

“Mengapa pemerintah dan bank sentral tidak saja secara cuma-cuma mencetak uang sebebas-bebasnya dan membagi-bagikanya kepada rakyat miskin semacam saya?”....

“Berapa pasokan uang yang proporsional bagi sebuah negara?, dan berapa bagi dunia?”....benarkah benar-benar harus dibatasi?........

“Mengapa terjadi resesi ekonomi, hanya karena harga dolar naik?, lalu mengapa harga dolar itu sendiri naik dan turun mirip celana dalam saya?”....(maklum sudah 3 tahun belum ganti)

“Kenapa pemerintah dan Bank Sentral bersatu melawan monster lemper inflasi---ingat setiap inflasi terjadi harga lemper juga naik, kan?”...bahkan jasa sedot WC.....

“Mengapa harga emas relatif stabil, bahkan untuk ribuan tahun yang akan datang jika prinsip-prinsip ekonomi yang diterapkan masih sama?”.......

.....”Dalam ekonomi masyarakat bebas dalam sistem moneter standar emas klasik, harga-harga tetap akan bergejolak naik, namun kecenderunganya adalah turun, bukan sebaliknya.....”

            “Mengapa uang, hari ini, tidak lagi di cetak oleh masyarakat bebas tanpa campur tangan pemerintah ataupun bank sentral?”....benarkah ini kudeta atas uang yang unilateral oleh penguasa dizaman dulu yang berimbas turun-temurun sampai sekarang?....mungkin dengan menguasai uang penguasa lebih mudah menguasai rakyat, singa pembuat aturan yang pintar....

Akan kah uang kertas kembali ke bentuk terkuatnya sebagai uang---emas, atau justru semakin “berlari” menjauhinya menjadi “uang digital?”.........

Memang sangat menggelikan membicarakan uang dalam bentuknya yang artifisial---kertas. Selain kaitanya dengan bentuknya, akan sangat menarik membuatnya teringsut-ingsut dengan masalah bunga a.k.a. riba, lalu reserve requirement ratio yang membingungkan, juga quantitative easing alias cetak uang membabi buta tanpa jaminan. Tambah lagi penyelewengan denominasi, kriminalisasi undang-undang moneter, atau pembodohan fiskal. Mata uang bukanlah uang, keduanya berbeda. Hakim yang adil adalah emas dan perak. Bankir ala Keynesian sangat tolol. Jika pemerintah dan bank masih sepakat terus-menerus menambah pasokan uang "palsu" yang nilainya dipaksakan, selamanya krisis tak akan pernah usai. Inflasi yang mereka musuhi dan hindari justru pasti seperti silit mereka sendiri. Kemanapun mereka pergi akan tetap melekat di antara kedua pantat.

"Mari revolusi, bakar dolar bajingan dan semua uang kertas ---lenyapkan dari bumi, kembalikan emas ke jalanan, lemparkan perak ke pasar-pasar"....
"The Fed, IMF, WB, pemerintah pro-Keynes, Central Banks, telah menipu kita. Kita dikadali".


                 Dan isu kenaikan BBM baru-baru ini yang tentunya setelah diiringi aksi seperti lempar-melempar mercon yang sudah disulut antara SBY VS Megawati a.k.a. Jokowi a.k.a. Jusuf Kalla yang sama-sama tidak mau melakukanya---sebab takut citranya rusak, tentu juga potensial pasti menginflasikan harga-harga. Dan beruntungnya kenaikan ini disambut pasca “sertijab” presiden baru. SBY sebagai pemain opera sabun disini barangkali berprinsip, “Pesta sudah usai, saatnya cuci piring”. Dan presiden, maaf---mantan presiden SBY maksud saya, berhasil “cuci tangan” dengan sukses. Artinya setelah beberapakali lempar-melempar mercon pun diprediksi akan meledak di tangan presiden baru. Analoginya sederhana, kondisinya sekarang sumbu mercon hanya tinggal bertahan 3 detik. Sedangkan secara fisika SBY pada posisi melemparnya tepat sesuai---jika dihitung-hitung, kecepatan dan jaraknya juga 3 detik menuju titik berdirinya Jokowi. Jadi aman, mercon akan “mbledos” di tangan Jokowi. Tapi mercon sedang berproses diatas angin pada detik ke 2, tinggal tunggu tanggal mainya. Dan yang akan bersedih salah satunya, saudara saya yang satu ini.


            Sebut saja W, 39 tahun, seorang mantan buruh sepatu di Cibaduyut sekitaran tahun 1996. Lelaki paruh baya dengan satu istri dan tiga anak yang terpaksa dibawa merantau dari Garut ke Jakarta. Hanya untuk mempertahankan nafas, sekaligus menutupi malu dari mertua. “Yah, beginilah dek, akhirnya saya keliling nge-sol sepatu. Kalo di pabrik soalnya gajinga nggak cukup...”, demikian keluh seorang W yang juga mengeluhkan rencana kenaikan harga BBM. “Kalo sudah harga BBM naik, apa-apa pasti naik, yang susah ya rakyat kecil kaya saya ini”, begitu tandasnya. “Sudah berapa tahun pak kerja beginian?”, saya menimpali. “Waah, sudah sepuluh tahun deek, yang lain sudah pada punya apa-apaa, saya maasih aja dijalanan”, jawabnya sambil ngotot. “Tapi ya Alhamdulillaah, masih sehaat, semua harus kita sukuri”, lanjutnya berbesar hati.

            Saya bertemu W, 2 November 2014, saat sandal baru saya tak bisa di ajak kompromi. Sengaja muter-muter, tak sengaja ketemu tukang sol, saya pun menjahitkanya sambil menikmati beberapa batang rokok di pinggiran gang. Saya mengamatinya, dan menakwil orang-orang seperti dia pun mungkin takkan pernah menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti diatas. They just take for granted about it. Baginya, selama paru-parunya masih kembang-kempis, dia akan terus menge-sol. Bekerja seumur hidup dan seumur hidup bekerja. Setelah berbincang ala manusia, aku pun memberinya 3 batang rokok dan Rp 20.000 guna menyambung hidup dengan caranya berbesar hati. Saya tidak tahu apakah memberi rokok cukup pantas atau tidak. Yang jelas, setelah saya tawari beberapa saat kemudian dia memintanya. Saya hanya berusaha berbagi, sebelum mati. Terhormatlah W.



 
Si W, 39 tahun, lagi nge-sol sepatu




"Orang seperti W tak pernah sadar sepenuhnya nilai uang kertasnya dikebiri sistem yang bobrok. Pundi-pundi uang kertas yang diirit-irit melilit selama ini, tak kan bernilai tanpa otoritas penjamin"......(kertas tetaplah kertas, tak punya nilai intrinsik)

            “Yeah, ada jutaan pertanyaan lain tentang ekonomi yang bagi banyak orang awam masih jadi “misteri” yang tak pernah terpecahkan”. Uang, sekalipun dipelajari di berbagai universitas, oleh; ekonom, akuntan, bankir, bisnisman, direktur, menteri, presiden, investor, mahasiswa, terkadang---masih saja terdapat kealpaan dalam memahami hakikat dasarnya. Kita menyentuhnya setiap hari, dengan kebutaan yang meraba-raba. Akui saja. Kita tak pernah paham. Kadang, kita harus mencoba berevaluasi, mereset ulang segala ide dan gagasan yang selama ini kita yakini---secara membabi buta. Tak jarang---sering, sebab merasa sudah “biasa” akhirnya kita menganggapnya sebagai kebenaran, tanpa pernah mempertanyakan ulang. Why?.

.....”Seharusnya bukanya membenarkan yang biasa, tapi membiasakan yang benar...”

.....”Kembalilah ke dasar....kembalilah ke dasar....”

......”Pelajari ulang dasar-dasarnya, perbaiki pondasi rumah ilmumu, kau takkan tau seberapa dia juga butuh perawatan...”

            Yah, begitu juga teman-teman senasib-seperjuangan-seperdilemaan-sepermanusiaan-seperpikiran-seperpembelajaran---dan seper-per yang lain. Pertanyaan-pertanyaan terunik dalam hidup kita umumnya muncul pada masa anak-anak. Berikut ketergantungan pada rasa ingin tahu dan kritisismenya. Sekedar berpikir ulang, sesederhana itu. Demi pertanyaan “super ceria” yang tak pernah usai, dan tak  menjemukan. Selamat mencari jawaban kawan.........
           
            (Sambil berbisik).....
           
            .....”Oya, tetaplah menjadi anak-anak.........”
            .....”Jangan tumbuh dewasa........”   










By : The Running baby
             International relation scholar

No comments:

Post a Comment

Please comment by your kindness....thanks for your visit... : )