Saturday, November 2, 2013

When I and You born than go Adult


When I and You born
than go Adult









"Setiap langkah meninggalkan jejak"



Lama sudah hujan tak turun, bahkan mendung pun tak menyapa, “Say Hai”. Sehingga hari-hari terlalui dengan kecerahan. Kalau seperti ini, saya laksana orang kering yang bicara basah, atau orang terang yang bicara gelap. Pagi ini seperti biasa, kuhadapi dengan pertanyaan, kebetulan tentang apakah negara ini masih pantas bin sangggup dipertahankan. Memperhatikan kemelut kepulan asap pejabat-pejabat negara yang kebakaran jenggot sebab virus lama, yang akhirnya mulai menjangkit jantung daripada negara, Mahkamah Konstitusi. Apa ini akibat MK yang suka maen tolak-tolak pengawasan Komisi Yudisial. Walau-walau statusnya masih diduga, tapi bagi saya pribadi alat bukti dan fakta yang terkuak sudah cukup membuat nalar berdilema. Para pejabat yang sebenarnya sangat pantas disebut sebagai negarawan sejati, karena kedudukan strata yang tinggi akibat urusan keadilan. Para pejabat yang dalam tanda kutip, “Seharusnya sudah selesai dengan dirinya sendiri”, pun menyeleweng.


Yah, logika hukum memang selalu lebih lambat daripada logika politik, dalam hal ini sebagai pisau pengujian kasus oleh hukum positif. Jikalau sel-sel negara sudah  tak bersahabat, saya rela mereka diamputasi. Demi menyelamatkan sel-sel aktif yang masih sehat, anak-anak bangsa ini. Biarkan GAM dan OPM hidup dengan self-determination, anda tahu maksud saya kan?. Juga tentang demo buruh yang menyedihkan, koreanisasi pasca westernisasi, media yang provokatif, menjamurnya joget-joget alien, tulisan alay yang menular, ekonomi As yang shutdown, tarik ulur politik kampus, spionase AS yang brutal dan menjengkelkan, oke saya akan berhenti sebelum anda muntah.   Bohlam kecil di pikiran saya menerangkan kembali, “Sesungguhnya tembok besar terdiri dari pasir-pasir, pasir-pasir yang pada akhirnya membentuk balok-balok bata, balok-balok bata yang akhirnya membentuk sebidang tembok, bidang-bidang tembok yang akhirnya membentuk kotak-kotak ruang, kotak-kotak ruang yang pada akhirnya membentuk gugusan rumah ideal, gugusan-gugusan rumah yang akhirnya membentuk sebuah gedung pencakar langit nan kokoh atau piramid bin menara bin candi bin kastil”. “Yang seringkali kehancuran tembok besar berawal dari keretakan kecil”. Nasehat ini patut ditujukan kepada setiap lapisan institusi sosial : keluarga, masyarakat, bangsa, negara, maupun global society. Perpecahan dan persatuan memanglah bagian dari seni kehidupan, tapi tanda hidup adalah bergerak, bergerak adalah tanda hidup. Waktu-waktu belakangan ini saya agaknya terlempar kembali untuk sedikit bernostalgia. Pun saya pribadi mengajak anda untuk mengintip kembali masa kecil kita yang penuh kebebasan, yang dimulai dengan sapaan “Selamat datang ke dunia kawan, bersiaplah untuk membayar hutang negara ini yang masih 2000 triliun”.
tunas-tunas bangsa ini
 Terutama kemarin ketika melihat sebuah taman surga alias majelis ilmu yang sedang merawat tanaman spesies anak-anak. Disebuah masjid dipinggiran Jakarta yang kelam dengan berbagai eksploitasi anjal, kesenjangan sosial, premanisme, gankster, individualisme, atau gelak tawa politikus yang lebih bising dari kemacetan Jakarta. Sedikit tersentak, bahwa selalu ada perbedaan mencolok dibenak saya, diversitas antara dunia anak-anak dan dunia dewasa. Dunia anak-anak bagi saya adalah masa dimana the great imitator itu muncul sebagai tindakan obsesif kita. Saat-saat kita sedang senang berobsesi menirukan segala macam hal yang oleh lingkungan dianggap tinggi alias berderajat. Coba ingat-ingat kembali, hal-hal apa saja yang sering anda tirukan diwaktu kecil?. Gaya bicara, gaya berjalan, aksen darah biru alias sok jadi orang kaya tapi mental kere, sifat orator penuh retorika, sok kiyai, sok preman, sok kuat, sok pimpinan, sok artislah, atau beberapa sikap salah tingkah.


Masa ini adalah benar-benar masa kebebasan, bahkan jika anda mati pada masa ini, anda tidak dihisab, karena belum terbeban tanggung jawab, sehingga tidak rawan dosa. Seolah bebas melakukan apa saja. Zaman dimana jutaan pertanyaan tentang dunia antre disetiap syaraf otak, menunggu untuk dijawab. Meski saja, tergantung tingkat rasa ingin tahu dan sense of crises yang pula bersifat interdependen dengan enviroment tempat anda tinggal. Hari-hari dimana jiwa serasa menjadi bos kecil diantara ribuan tuan dan triliun budak alias jongos. Tinggal sebut ini dan sebut itu saja, maka datang pula apa yang dipinta, bahkan menangis pun menguntungkan. Ya, mungkin ini khususon bagi saya-anda yang lahir ditengah-tengah keberadaan meski bukan sebenarnya “The Have”. Sebuah komposisi kondisi yang tak harus memaksa kita banting kepala, lebih parah dari banting tulang, asal dapur  tetap mengepul. Dalam arti, mengepul pun perut terisi, bukan hanya mengepul saja sampai pada akhirnya dapurnya kebakaran pula perut pun kebakaran. 


Dan saya setuju bahwa akan lebih mudah mempelajari kasih dengan melihat anak-anak. Karena anak-anak adalah sekalipun kebaikan ataupun kenakalan yang dilakukan, maka peran perasaan bermain sangat dalam bersamanya. Perhatikan saja mereka dengan seksama, pasti mendapat pelajaran. Lalu yang kedua adalah dunia dewasa. Dunia dimana aksen-aksen penuh tendensi dan penjilatan mulai muncul. Dunia penuh sandiwara, tokoh-tokoh protagonis dan antagonis, plot-plot yang berputar berulang kali seiring perubahan zaman. Dunia yang mengharuskan kita menghadapi tanggung jawab, keinginan yang berlebihan, ketakutan yang berlebihan, pekerjaan, rumah tangga, seks, kritik dan hujatan, memaksakan diri demi perintah orang lain yang tetap akan terus memerintah, atau utang dan premi yang harus dibayar. Dunia dengan justifikasi sosial yang mengharuskan kita beradaptasi dengan aturan mereka menjauhi kekanak-kanakan, sampai perdebatan gender. Hati tak lagi sehidup dulu, bahkan mati. Bisa jadi dunia bos, tapi juga bisa jadi dunia ABS, siap bos, kumaha bapak wae, inggeh bos, dan penyakit mati rasa. Banyak orang-orang dimasa ini yang membiarkan ketakutan membimbing mereka tanpa proporsi yang jelas, keseimbangan aksentual. Tapi dunia ini anehnya banyak diimpikan anak-anak. Saya juga tidak begitu paham, siapa yang mengajari mereka menjadi seperti itu, demikian.


Disampingnya, ada sebuah penyakit kecil yang juga mengancam eksistensi jalan hidup kita. Yaitu penyakit “merasa dewasa”, ya mungkin penamaan ini terkesan ambigu karena tidak spesifik dan to the poin. Yang saya maksud merasa dewasa disini adalah kondisi dimana kita sudah kehilangan rasa kritis terhadap lingkungan kita. Biasanya, sering disebabkan karena didalam hati kita tanpa sengaja tertanam perasaan bahwa kita sudah tau banyak hal, merasa sudah patut dihargai dan dihormati, didukung lingkungan dengan tingkat rasa acuh yang akut, menikmati hidup di zona nyaman, menghargai kemalasan, merasa bangga dengan sejarahnya, merasa bisa melakukan semuanya, sombong yang menjadi-jadi, jauh dari majelis ilmu, tidak mudah mendengarkan dan menerima pendapat yang baik, sudah merasa baik, dan banyak alasan lain. Pula dapat dibilang “perasaan ingin dihargai, tanpa sadar kita berlebihan”.


Sederhananya secara tersirat yang saya maksud adalah, penyakit kehilangan kritisisme. Lalu apakah kritisisme itu penting?, “o tentu”. Saya tidak melihat orang-orang besar tanpa apa yang disebut dengan sense of crises bersemayam dalam diri mereka. Contoh anda perhatikan ini, dua model negara Singapore and Finland. Negeri yang identik dengan kata Petronas dan Nokia. Bangsa yang pada awalnya tidak diperhitungkan dalam percaturan peta dunia, yang justru pada hari ini dipelajari di hampir setiap sekolah bisnis di dunia. Karena kemampuan survival-nya yang luar biasa diatas rata-rata. Sampai berhasil mencapai tingkat whealty level tertinggi. Hal ini konon karena mereka hampir dalam perjalananya selalu dirundung masalah dan kondisi terancam sehingga jauh dari comfort zone. Bayangkan, stuktur demografi mereka buruk, hanya memiliki secuil tanah dan beberapa land locked, penuh pegunungan terjal, yang membuat mereka selalu harus naik-turun gunung demi hubungan dagang, akses yang sulit, yang satu tak punya air tawar dan yang satu daratanya serba salju, tak banyak sumber daya alam yang bisa digunakan, jenis tanaman sedikit dan banyak hal buruk yang pahitnya harus mereka tahan sebagai bangsa. Ini membuat mereka sangat kritis untuk bertahan hidup memaksa mereka bekerja lebih keras, dibanding orang Indonesia mungkin yang sudah nyaman by God. Sampai pada akhirnya mereka berubah dari komunitas unskilled people menjadi  skilled people, dan bahasa populer jaman sekarang intelectual capital, manusia-manusia beradab yang terdidik atau educated people.


Lalu kaitanya dengan Indonesia, yang lebih identik dengan kemalasan saya kira, sulit memiliki tingkat kritisisme yang mewah. Kata para ekonom aliran tradisionalis, mungkin karena orang indonesia dan moyangnya selalu dimanjakan dengan kekayaan yang melimpah ruah. Tinggal lempar biji kebelakang jadi pohon mangga, tinggal tancap kayu keluar singkong, iseng serok-serok air nyangkut ikan, main-main lempar batu ke atas, tiba-tiba jatuh burung. Ya, akhirnya terbiasa hidup enak, dan gagap menghadapi perubahan dunia yang ekstream sekali. Hanya jadi kumpulan orang-orang manja, yang terpinggikan dari catatan utama dunia, hanya iklan baris dan bukan headline. Seonggok bungkusan manusia-manusia cadangan. Kritis berawal dari berpikir, jika anda melihat seseorang yang amat kritis, maka sudah barang tentu dia adalah pemikir. Sulut saja otakmu untuk selalu berpikir, dan jadilah orang kritis. Kalau kesulitan mencobanya, saranya awali dari hal-hal yang anda sukai. Kalau saranya tidak terlalu bagus, dan pikiran anda buntu, setidaknya ada saran lebih baik daripada tidak ada saran sama sekali.


Ada juga topik dunia yang cocok dikonsumsi sebagai perbincangan sederhana kita menemani secangkir teh atau kopi. Sambil berkumpul bareng dengan manusia-manusia berdosa, forum otak-otak. Yaitu dunia maya, dunia maya ya, bukan dunia Luna Maya. Meskipun Luna Maya juga ada di dunia maya. Dunia ini sering saya katakan adalah dunia virus yang telah menjangkiti manusia modern. Mengubah kebiasaan lokal dan interlokal masyarakat yang sebelumnya lebih suka pegang pacul, kapak, wajan, sutil, jarum, pisau, buku, pena, dan kain pel, menjadi lekat bak prangko dengan makhluk gadget. Kadang saya memperhatihatikan manusia-manusia super duper sibuk yang hanya punya waktu satu hari setiap minggunya untuk menikmati waktu bersama keluarga datang ke sebuah kafe atau restoran. Uniknya, setelah si bapak, si ibu, si anak, dan si sopir turun dari mobil masing-masing mereka langsung membelai gadget kesayangan mereka masing-masing. Lalu setelah mereka menghampiri suatu meja dan duduk berputar, mereka bicara hanya untuk memesan makanan dan kembalilah mereka menghadapi gadget-nya. Berjalanlah ditengah-tengah mall, hampir tidak ada satu tangan pun yang lepas dari gadget karena virus-virus dunia maya. Padahal maya juga tidak begitu cantik. Juga maya estianti yang sama sekali tidak mirip orang-orang suku maya. Dunia ini telah banyak ditanam pada kebudayaan kita, pada satu sisi berbuah baik dan disisi lain menjadi gulma yang harus disiangi. Dunia ini telah banyak mengabaikan pakem interaksi-interaksi humanis, dan mengundang meme yang buruk. Membuat eye contact, body language, intrapretasion feelings, dan human respectation tidak berguna. Robot dan mesin jadi lebih dipuji dari pada makhluk hidup. Membuat interaksi manusia semakin aneh dengan timeline dan follower. Hal ini butuh penelitian baru yang lebih mendalam, apa yang membuat manusia lebih atraktif, impresif, dan adiktif oleh dunia maya, juga jejaring sosial yang memiliki keunikan tersendiri soal interaksinya.


Ya, diskursus ini hanyalah satu wacana, asumsi, persepsi kecil dari tumpukan perspektif di balkon pemikiran. Mereka orang filsafat, bisa membicarakan satu hal dengan ribuan cara berbeda dan bisa memiliki seribu muka dalam satu waktu. Sayangnya hanya satu yang harus kita pilih, sebagaimana gelar juara yang kita inginkan, pengujian peruntungan, dia tunggal. Terimalah jika ilmu itu benar dan tolaklah jika ilmu itu sesat. Hmm, belakangan ini pula ada dua orang sahabat baru dan sahabat kuno yang sering mampir di benak saya. Karena ketenangan, kebijaksanaan, kearifan, keteguhan, kesantunan dan kefahaman yang ada pada mereka barangkali. Antara teman kecil dan teman besar, antara kurcaci dan raksasa barangkali. Yang pertama si teman kecil, yang hampir sepuluh tahun setelah hari perpisahan itu kami hidup tanpa pernah berjumpa. Hidupnya beruntung, karena dia berhasil diterima menjadi murid di Gontor, bagi saya Al-Azhar-nya Indonesia, pun yang pernah terimpikan.


Sampai pada akhirnya dia lulus dari sana, meski terlambat dua tahun karena harus mengabdi mengamalkan ilmu. Dua bulan lalu adalah hari-hari saat pertemuan setelah sekian lama tak tau-menau perihal kabar. Terlalu banyak lembaran cerita yang harus diucapkan kembali, tapi satu hal yang membuatnya berubah. Kemuliaanya sebab ilmu yang bersandang serta bersemayam arif dihatinya. Seorang manusia penuh rasa, panelis penuh diksi, pembaca pikiran penuh jeli, manusia fantasi yang realistis. Lalu si teman baru, seseorang yang lebih orisinil, lulusan Al-Azhar asli. Cukup banyak hadis serta tafsir Al-Furqon yang telah dibacakanya bagiku, yang telah menyelamatkan dan menjaga alam. Pun beberapa kali mengajariku sepatah dua patah kata dalam bahasa Turki, sambil sesekali menyeruput teh Turki, karena dia pernah berkunjung kesana beberapa waktu, cukup lama lah. Karena urusan dan tanggung jawabnya mengurus sebuah yayasan Indonesia asal Turki yang memiliki cabang di lebih dari 130 negara.


Beberapa orang dewasa mengakhiri hidupnya dengan membusuk dipenjara. Beberapa menjadi tukang sapu jalan, beberapa mengemis, beberapa merampok, dan beberapa masih berusaha berpura-pura terhadap dunia. Bentuk lain dari kehidupan dewasa bisa kita lihat dari orang ini. Ruhut Sitompul, bagi saya dia adalah jenis orang yang akan senang membenturkan kepalanya ke tiang listrik dan lebih memilih mematahkanya dari pada menjaga kepalanya tetap bulat. Seseorang dengan mulut besar yang selalu berbusa, tampak persis mengalami overdosis cimeng. Manusia dengan muka tembok dan hati seperti batu granit yang akan terus berpose ke kanan dan ke kiri demi memperlihatkan bokong besarnya. Pembicaraan yang klise, atau selera perjuangan demi kepentingan mafia negeri ini. Dia juga orang yang hampir setiap pagi sarapan dengan menjejali mulutnya satu kilo cabe rawit, hanya untuk membuat gaya ngobosnya semakin pedas di malam hari. Sayangnya pamor dan parasnya terlalu mirip drakula yang secara tiba-tiba bisa menghisap darah anda lalu pula anda menjadi drakula. Tak banyak orang berani mendebatnya. Dia agak mencintai menjadi terhormat dan sedikit bergaya aristokrat. Meski begitu, dia tipe orang yang loyalis, hanya kepada partai.Ya, itu sebuah kehidupan dewasa yang buruk, juga tidak disukai oleh guru-guru TK. Masih berpikirkah anda untuk menjadi dewasa?, atau justru  bercita-cita menjadi penyanyi cilik?, yang jelas membuat anda terlihat sinting.


Secarik bayangan dunia dewasa yang telah menjadi kenyataan kita hari ini. Tentang hidup yang takkan pernah berjalan kebelakang. Saya ingin bertanya, apa hal pertama yang tiba di benak anda saat saya ucapkan kata “dunia” atau “hidup” atau “kebahagiaan” dan “kedewasaan”?. Kalimat ini sudah sangat populer, bahwa dimana ada hidup disitu ada masalah. Seperti dua sejoli saja mereka, saya pun tak habis pikir, dimana mereka kenal sampai bisa seakrab itu. Dengan kata lain, jika kita “berhidup” maka kita “bermasalah”. Saya ingin mengatakan sesuatu, yang juga telah banyak dan berulang kali diucapkan oleh penulis-penulis besar. Demikian, “Orang bisa saja salah memahamiku, karena tulisan-tulisanku”. Seolah efek samping dari pentingnya menulis, penekanan bahwa Al-Qur’an tidak hanya menyebut buku, bicara kitab, tapi juga menyebut pena. Ya, ini hanya sebuah tulisan tanpa korelasi yang jelas, paragraf-paragraf tanpa kalimat utama, tapi sebuah tulisan adalah tetap sebuah tulisan. Kata yang bermakna, turunan dari lautan dan sungai penafsiran melewati hulu juga muara. Sampai akhirnya tulisan itu berkata, “Sampai jumpa dilain waktu kawan”!.


Pada akhirnya tulisan-tulisan itu akan menjadi warisan sepeninggal kita, pajangan-pajangan pada dinding-dinding keilmuan, sastra dan seni. Berbagai peninggalan-peninggalan yang akan terus dikenang dunia, setelah kita sampai di akhirat pun. Itu jejak-jejak kita...............





”Setiap langkah meninggalkan jejak”.......


Pajanganmu ?





By : The Running baby
             International relation scholar

No comments:

Post a Comment

Please comment by your kindness....thanks for your visit... : )