When I
and You born
than go
Adult
Lama sudah hujan tak turun,
bahkan mendung pun tak menyapa, “Say Hai”. Sehingga hari-hari terlalui dengan
kecerahan. Kalau seperti ini, saya laksana orang kering yang bicara basah, atau
orang terang yang bicara gelap. Pagi ini seperti biasa, kuhadapi dengan
pertanyaan, kebetulan tentang apakah negara ini masih pantas bin sangggup
dipertahankan. Memperhatikan kemelut kepulan asap pejabat-pejabat negara yang
kebakaran jenggot sebab virus lama, yang akhirnya mulai menjangkit jantung
daripada negara, Mahkamah Konstitusi. Apa ini akibat MK yang suka maen tolak-tolak pengawasan Komisi
Yudisial. Walau-walau statusnya masih diduga, tapi bagi saya pribadi alat bukti
dan fakta yang terkuak sudah cukup membuat nalar berdilema. Para pejabat yang
sebenarnya sangat pantas disebut sebagai negarawan sejati, karena kedudukan
strata yang tinggi akibat urusan keadilan. Para pejabat yang dalam tanda kutip,
“Seharusnya sudah selesai dengan dirinya sendiri”, pun menyeleweng.
Yah, logika hukum memang
selalu lebih lambat daripada logika politik, dalam hal ini sebagai pisau
pengujian kasus oleh hukum positif. Jikalau sel-sel negara sudah tak bersahabat, saya rela mereka diamputasi.
Demi menyelamatkan sel-sel aktif yang masih sehat, anak-anak bangsa ini.
Biarkan GAM dan OPM hidup dengan self-determination,
anda tahu maksud saya kan?. Juga tentang demo buruh yang menyedihkan,
koreanisasi pasca westernisasi, media yang provokatif, menjamurnya joget-joget
alien, tulisan alay yang menular, ekonomi As yang shutdown, tarik ulur politik
kampus, spionase AS yang brutal dan menjengkelkan, oke saya akan berhenti
sebelum anda muntah. Bohlam kecil di pikiran saya menerangkan
kembali, “Sesungguhnya tembok besar terdiri dari pasir-pasir, pasir-pasir yang
pada akhirnya membentuk balok-balok bata, balok-balok bata yang akhirnya
membentuk sebidang tembok, bidang-bidang tembok yang akhirnya membentuk
kotak-kotak ruang, kotak-kotak ruang yang pada akhirnya membentuk gugusan rumah
ideal, gugusan-gugusan rumah yang akhirnya membentuk sebuah gedung pencakar
langit nan kokoh atau piramid bin menara bin candi bin kastil”. “Yang
seringkali kehancuran tembok besar berawal dari keretakan kecil”. Nasehat ini
patut ditujukan kepada setiap lapisan institusi sosial : keluarga, masyarakat,
bangsa, negara, maupun global society.
Perpecahan dan persatuan memanglah bagian dari seni kehidupan, tapi tanda hidup
adalah bergerak, bergerak adalah tanda hidup. Waktu-waktu belakangan ini saya
agaknya terlempar kembali untuk sedikit bernostalgia. Pun saya pribadi mengajak
anda untuk mengintip kembali masa kecil kita yang penuh kebebasan, yang dimulai
dengan sapaan “Selamat datang ke dunia kawan, bersiaplah untuk membayar hutang
negara ini yang masih 2000 triliun”.
tunas-tunas bangsa ini |
Terutama kemarin ketika melihat sebuah taman
surga alias majelis ilmu yang sedang merawat tanaman spesies anak-anak. Disebuah
masjid dipinggiran Jakarta yang kelam dengan berbagai eksploitasi anjal,
kesenjangan sosial, premanisme, gankster, individualisme, atau gelak tawa
politikus yang lebih bising dari kemacetan Jakarta. Sedikit tersentak, bahwa
selalu ada perbedaan mencolok dibenak saya, diversitas antara dunia anak-anak
dan dunia dewasa. Dunia anak-anak bagi saya adalah masa dimana the great imitator itu muncul sebagai
tindakan obsesif kita. Saat-saat kita sedang senang berobsesi menirukan segala
macam hal yang oleh lingkungan dianggap tinggi alias berderajat. Coba
ingat-ingat kembali, hal-hal apa saja yang sering anda tirukan diwaktu kecil?.
Gaya bicara, gaya berjalan, aksen darah biru alias sok jadi orang kaya tapi
mental kere, sifat orator penuh retorika, sok kiyai, sok preman, sok kuat, sok
pimpinan, sok artislah, atau beberapa sikap salah tingkah.
Masa ini adalah benar-benar
masa kebebasan, bahkan jika anda mati pada masa ini, anda tidak dihisab, karena
belum terbeban tanggung jawab, sehingga tidak rawan dosa. Seolah bebas
melakukan apa saja. Zaman dimana jutaan pertanyaan tentang dunia antre disetiap
syaraf otak, menunggu untuk dijawab. Meski saja, tergantung tingkat rasa ingin
tahu dan sense of crises yang pula
bersifat interdependen dengan enviroment
tempat anda tinggal. Hari-hari dimana jiwa serasa menjadi bos kecil diantara
ribuan tuan dan triliun budak alias jongos. Tinggal sebut ini dan sebut itu
saja, maka datang pula apa yang dipinta, bahkan menangis pun menguntungkan. Ya,
mungkin ini khususon bagi saya-anda
yang lahir ditengah-tengah keberadaan meski bukan sebenarnya “The Have”. Sebuah
komposisi kondisi yang tak harus memaksa kita banting kepala, lebih parah dari
banting tulang, asal dapur tetap
mengepul. Dalam arti, mengepul pun perut terisi, bukan hanya mengepul saja
sampai pada akhirnya dapurnya kebakaran pula perut pun kebakaran.
Dan saya setuju bahwa akan
lebih mudah mempelajari kasih dengan melihat anak-anak. Karena anak-anak adalah
sekalipun kebaikan ataupun kenakalan yang dilakukan, maka peran perasaan
bermain sangat dalam bersamanya. Perhatikan saja mereka dengan seksama, pasti
mendapat pelajaran. Lalu yang kedua adalah dunia dewasa. Dunia dimana
aksen-aksen penuh tendensi dan penjilatan mulai muncul. Dunia penuh sandiwara,
tokoh-tokoh protagonis dan antagonis, plot-plot yang berputar berulang kali
seiring perubahan zaman. Dunia yang mengharuskan kita menghadapi tanggung
jawab, keinginan yang berlebihan, ketakutan yang berlebihan, pekerjaan, rumah
tangga, seks, kritik dan hujatan, memaksakan diri demi perintah orang lain yang
tetap akan terus memerintah, atau utang dan premi yang harus dibayar. Dunia
dengan justifikasi sosial yang mengharuskan kita beradaptasi dengan aturan
mereka menjauhi kekanak-kanakan, sampai perdebatan gender. Hati tak lagi
sehidup dulu, bahkan mati. Bisa jadi dunia bos, tapi juga bisa jadi dunia ABS,
siap bos, kumaha bapak wae, inggeh bos, dan penyakit mati rasa. Banyak
orang-orang dimasa ini yang membiarkan ketakutan membimbing mereka tanpa
proporsi yang jelas, keseimbangan aksentual. Tapi dunia ini anehnya banyak
diimpikan anak-anak. Saya juga tidak begitu paham, siapa yang mengajari mereka
menjadi seperti itu, demikian.
Disampingnya, ada sebuah
penyakit kecil yang juga mengancam eksistensi jalan hidup kita. Yaitu penyakit
“merasa dewasa”, ya mungkin penamaan ini terkesan ambigu karena tidak spesifik
dan to the poin. Yang saya maksud
merasa dewasa disini adalah kondisi dimana kita sudah kehilangan rasa kritis
terhadap lingkungan kita. Biasanya, sering disebabkan karena didalam hati kita
tanpa sengaja tertanam perasaan bahwa kita sudah tau banyak hal, merasa sudah
patut dihargai dan dihormati, didukung lingkungan dengan tingkat rasa acuh yang
akut, menikmati hidup di zona nyaman, menghargai kemalasan, merasa bangga
dengan sejarahnya, merasa bisa melakukan semuanya, sombong yang menjadi-jadi,
jauh dari majelis ilmu, tidak mudah mendengarkan dan menerima pendapat yang
baik, sudah merasa baik, dan banyak alasan lain. Pula dapat dibilang “perasaan
ingin dihargai, tanpa sadar kita berlebihan”.
Sederhananya secara tersirat
yang saya maksud adalah, penyakit kehilangan kritisisme. Lalu apakah kritisisme
itu penting?, “o tentu”. Saya tidak melihat orang-orang besar tanpa apa yang
disebut dengan sense of crises
bersemayam dalam diri mereka. Contoh anda perhatikan ini, dua model negara
Singapore and Finland. Negeri yang identik dengan kata Petronas dan Nokia.
Bangsa yang pada awalnya tidak diperhitungkan dalam percaturan peta dunia, yang
justru pada hari ini dipelajari di hampir setiap sekolah bisnis di dunia. Karena
kemampuan survival-nya yang luar biasa diatas rata-rata. Sampai berhasil
mencapai tingkat whealty level
tertinggi. Hal ini konon karena mereka hampir dalam perjalananya selalu
dirundung masalah dan kondisi terancam sehingga jauh dari comfort zone. Bayangkan, stuktur demografi mereka buruk, hanya
memiliki secuil tanah dan beberapa land
locked, penuh pegunungan terjal, yang membuat mereka selalu harus
naik-turun gunung demi hubungan dagang, akses yang sulit, yang satu tak punya
air tawar dan yang satu daratanya serba salju, tak banyak sumber daya alam yang
bisa digunakan, jenis tanaman sedikit dan banyak hal buruk yang pahitnya harus
mereka tahan sebagai bangsa. Ini membuat mereka sangat kritis untuk bertahan
hidup memaksa mereka bekerja lebih keras, dibanding orang Indonesia mungkin
yang sudah nyaman by God. Sampai pada
akhirnya mereka berubah dari komunitas unskilled
people menjadi skilled people, dan bahasa populer jaman sekarang intelectual capital, manusia-manusia
beradab yang terdidik atau educated
people.
Lalu kaitanya dengan
Indonesia, yang lebih identik dengan kemalasan saya kira, sulit memiliki
tingkat kritisisme yang mewah. Kata para ekonom aliran tradisionalis, mungkin
karena orang indonesia dan moyangnya selalu dimanjakan dengan kekayaan yang
melimpah ruah. Tinggal lempar biji kebelakang jadi pohon mangga, tinggal tancap
kayu keluar singkong, iseng serok-serok air nyangkut ikan, main-main lempar
batu ke atas, tiba-tiba jatuh burung. Ya, akhirnya terbiasa hidup enak, dan
gagap menghadapi perubahan dunia yang ekstream
sekali. Hanya jadi kumpulan orang-orang manja, yang terpinggikan dari catatan
utama dunia, hanya iklan baris dan bukan headline.
Seonggok bungkusan manusia-manusia cadangan. Kritis berawal dari berpikir, jika
anda melihat seseorang yang amat kritis, maka sudah barang tentu dia adalah
pemikir. Sulut saja otakmu untuk selalu berpikir, dan jadilah orang kritis.
Kalau kesulitan mencobanya, saranya awali dari hal-hal yang anda sukai. Kalau
saranya tidak terlalu bagus, dan pikiran anda buntu, setidaknya ada saran lebih
baik daripada tidak ada saran sama sekali.
Ada juga topik dunia yang
cocok dikonsumsi sebagai perbincangan sederhana kita menemani secangkir teh
atau kopi. Sambil berkumpul bareng dengan manusia-manusia berdosa, forum
otak-otak. Yaitu dunia maya, dunia maya ya, bukan dunia Luna Maya. Meskipun
Luna Maya juga ada di dunia maya. Dunia ini sering saya katakan adalah dunia virus
yang telah menjangkiti manusia modern. Mengubah kebiasaan lokal dan interlokal
masyarakat yang sebelumnya lebih suka pegang pacul, kapak, wajan, sutil, jarum,
pisau, buku, pena, dan kain pel, menjadi lekat bak prangko dengan makhluk gadget. Kadang saya memperhatihatikan
manusia-manusia super duper sibuk yang hanya punya waktu satu hari setiap
minggunya untuk menikmati waktu bersama keluarga datang ke sebuah kafe atau
restoran. Uniknya, setelah si bapak, si ibu, si anak, dan si sopir turun dari
mobil masing-masing mereka langsung membelai gadget kesayangan mereka masing-masing. Lalu setelah mereka
menghampiri suatu meja dan duduk berputar, mereka bicara hanya untuk memesan
makanan dan kembalilah mereka menghadapi gadget-nya.
Berjalanlah ditengah-tengah mall, hampir tidak ada satu tangan pun yang lepas
dari gadget karena virus-virus dunia
maya. Padahal maya juga tidak begitu cantik. Juga maya estianti yang sama
sekali tidak mirip orang-orang suku maya. Dunia ini telah banyak ditanam pada
kebudayaan kita, pada satu sisi berbuah baik dan disisi lain menjadi gulma yang
harus disiangi. Dunia ini telah banyak mengabaikan pakem interaksi-interaksi
humanis, dan mengundang meme yang buruk. Membuat eye contact, body language,
intrapretasion feelings, dan human respectation tidak berguna. Robot dan
mesin jadi lebih dipuji dari pada makhluk hidup. Membuat interaksi manusia
semakin aneh dengan timeline dan follower. Hal ini butuh penelitian baru
yang lebih mendalam, apa yang membuat manusia lebih atraktif, impresif, dan
adiktif oleh dunia maya, juga jejaring sosial yang memiliki keunikan tersendiri
soal interaksinya.
Ya, diskursus ini hanyalah
satu wacana, asumsi, persepsi kecil dari tumpukan perspektif di balkon pemikiran.
Mereka orang filsafat, bisa membicarakan satu hal dengan ribuan cara berbeda
dan bisa memiliki seribu muka dalam satu waktu. Sayangnya hanya satu yang harus
kita pilih, sebagaimana gelar juara yang kita inginkan, pengujian peruntungan,
dia tunggal. Terimalah jika ilmu itu benar dan tolaklah jika ilmu itu sesat. Hmm,
belakangan ini pula ada dua orang sahabat baru dan sahabat kuno yang sering
mampir di benak saya. Karena ketenangan, kebijaksanaan, kearifan, keteguhan,
kesantunan dan kefahaman yang ada pada mereka barangkali. Antara teman kecil
dan teman besar, antara kurcaci dan raksasa barangkali. Yang pertama si teman
kecil, yang hampir sepuluh tahun setelah hari perpisahan itu kami hidup tanpa
pernah berjumpa. Hidupnya beruntung, karena dia berhasil diterima menjadi murid
di Gontor, bagi saya Al-Azhar-nya Indonesia, pun yang pernah terimpikan.
Sampai pada akhirnya dia lulus
dari sana, meski terlambat dua tahun karena harus mengabdi mengamalkan ilmu.
Dua bulan lalu adalah hari-hari saat pertemuan setelah sekian lama tak
tau-menau perihal kabar. Terlalu banyak lembaran cerita yang harus diucapkan
kembali, tapi satu hal yang membuatnya berubah. Kemuliaanya sebab ilmu yang
bersandang serta bersemayam arif dihatinya. Seorang manusia penuh rasa, panelis
penuh diksi, pembaca pikiran penuh jeli, manusia fantasi yang realistis. Lalu
si teman baru, seseorang yang lebih orisinil, lulusan Al-Azhar asli. Cukup
banyak hadis serta tafsir Al-Furqon yang telah dibacakanya bagiku, yang telah
menyelamatkan dan menjaga alam. Pun beberapa kali mengajariku sepatah dua patah
kata dalam bahasa Turki, sambil sesekali menyeruput teh Turki, karena dia
pernah berkunjung kesana beberapa waktu, cukup lama lah. Karena urusan dan
tanggung jawabnya mengurus sebuah yayasan Indonesia asal Turki yang memiliki
cabang di lebih dari 130 negara.
Beberapa orang dewasa mengakhiri
hidupnya dengan membusuk dipenjara. Beberapa menjadi tukang sapu jalan,
beberapa mengemis, beberapa merampok, dan beberapa masih berusaha berpura-pura
terhadap dunia. Bentuk lain dari kehidupan dewasa bisa kita lihat dari orang
ini. Ruhut Sitompul, bagi saya dia adalah jenis orang yang akan senang
membenturkan kepalanya ke tiang listrik dan lebih memilih mematahkanya dari
pada menjaga kepalanya tetap bulat. Seseorang dengan mulut besar yang selalu
berbusa, tampak persis mengalami overdosis
cimeng. Manusia dengan muka tembok dan hati seperti batu granit yang akan terus
berpose ke kanan dan ke kiri demi memperlihatkan bokong besarnya. Pembicaraan
yang klise, atau selera perjuangan demi kepentingan mafia negeri ini. Dia juga
orang yang hampir setiap pagi sarapan dengan menjejali mulutnya satu kilo cabe
rawit, hanya untuk membuat gaya ngobosnya
semakin pedas di malam hari. Sayangnya pamor dan parasnya terlalu mirip drakula
yang secara tiba-tiba bisa menghisap darah anda lalu pula anda menjadi drakula.
Tak banyak orang berani mendebatnya. Dia agak mencintai menjadi terhormat dan sedikit bergaya aristokrat. Meski begitu, dia tipe orang yang loyalis, hanya kepada partai.Ya, itu sebuah kehidupan dewasa yang
buruk, juga tidak disukai oleh guru-guru TK. Masih berpikirkah anda untuk
menjadi dewasa?, atau justru
bercita-cita menjadi penyanyi cilik?, yang jelas membuat anda terlihat
sinting.
Secarik bayangan dunia dewasa
yang telah menjadi kenyataan kita hari ini. Tentang hidup yang takkan pernah
berjalan kebelakang. Saya ingin bertanya, apa hal pertama yang tiba di benak
anda saat saya ucapkan kata “dunia” atau “hidup” atau “kebahagiaan” dan “kedewasaan”?.
Kalimat ini sudah sangat populer, bahwa dimana ada hidup disitu ada masalah.
Seperti dua sejoli saja mereka, saya pun tak habis pikir, dimana mereka kenal
sampai bisa seakrab itu. Dengan kata lain, jika kita “berhidup” maka kita
“bermasalah”. Saya ingin mengatakan sesuatu, yang juga telah banyak dan
berulang kali diucapkan oleh penulis-penulis besar. Demikian, “Orang bisa saja
salah memahamiku, karena tulisan-tulisanku”. Seolah efek samping dari
pentingnya menulis, penekanan bahwa Al-Qur’an tidak hanya menyebut buku, bicara
kitab, tapi juga menyebut pena. Ya, ini hanya sebuah tulisan tanpa korelasi
yang jelas, paragraf-paragraf tanpa kalimat utama, tapi sebuah tulisan adalah
tetap sebuah tulisan. Kata yang bermakna, turunan dari lautan dan sungai
penafsiran melewati hulu juga muara. Sampai akhirnya tulisan itu berkata,
“Sampai jumpa dilain waktu kawan”!.
Pada akhirnya tulisan-tulisan
itu akan menjadi warisan sepeninggal kita, pajangan-pajangan pada
dinding-dinding keilmuan, sastra dan seni. Berbagai peninggalan-peninggalan
yang akan terus dikenang dunia, setelah kita sampai di akhirat pun. Itu
jejak-jejak kita...............
”Setiap langkah meninggalkan jejak”.......
”Setiap langkah meninggalkan jejak”.......
Pajanganmu ? |
By : The
Running baby
International
relation scholar
No comments:
Post a Comment
Please comment by your kindness....thanks for your visit... : )