Sunday, February 8, 2015

Unfinished Letter


  





Unfinished
Letter









Sudah tak terbilang lagi entah berapa banyak lembar-lembar kertas yang ia remas, semalaman suntuk. Kertas-kertas yang pada akhirnya berjatuhan dikolong meja dari kayu jati dengan ornamen berukiran kembang. Sembari meremas otaknya yang matang dibakar pada suhu pemikiran 170 G (Genius : satuan nalar). Diraciknya kata, dipenggal-penggal. Bersama pikiran bebar dan hati gusar. Dan surat itu tak kunjung selesai, sehingga dapat diprediksi akan lagi ada lembaran yang disia-siakanya bersama bahan pepohonan, emisi, keringat sopir, dan beberapa tetes lagi tinta. Ini bukan saatnya diet kertas. Perusahaan kertas girang, bumi berang.

Diatas meja ada setumpuk bungkus snack jagung, remah roti, lima cangkir ampas kopi, lalu asbak berlatu setengah penuh---dua bungkus rokoknya habis. Hening, si penulis bergeming. Itu seperti dirinya yang dikonstruksikan pengenalnya: pendiam, melankolis, misterius. Hanya ada sayup-sayup orkes dangdut dari radius berkilo-kilo meter. Entah orang sinting mana yang menyetel musik layaknya orang budeg jam 02.30 malam-malam seperti ini. Energi matanya bersisa lima watt, seperti warning battery low pada Iphone, rasa kacau mulai berkecamuk, kepalanya tertunduk, suratya tak kunjung selesai.

"Pic....?", Sebuah suara memanggilnya dari balik pintu kamar berpendar lilin.
Listrik sedang mati.

Dia terperangah seperti disambar petir lantas, bergeleng, mengucek mata---tingkat kesadaran naik.

Ingatanya yang bubar kembali baris-berbaris.

Membatinlah ia, "Siapa gerangan manusia tak tau adat bertamu di malam bolong. Cuma mata burung hantu yang melolong".

"Siapa.....?", recheck-nya.
Tak ada jawaban, tetap hening.

Beberapa milisekon selanjutnya, "Keriiiieeettt....", gagang pintu miskin pelumas turun kebawah, gerakan sentripetal 90 derajat. Dia hanya melirik pintu sinis ke sebelah kanan. Diruang dan waktu minim cahaya itu pupil Pic mulai mengernyit-ngernyit, mengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata. Pintu terdorong menjorok ke dalam dengan percepatan 0,2 m/s, sesaat muncul sesosok putih dari balik pintu. Itu Èk, sebuah juluk singkat dengan satu vokal dan satu konsonan, sahabat terakrab sejak puluhan tahun lalu.

"...Kau....", "Sok mistis.....!" nadanya naik. Warna suaranya memang agak berat. Cukup maskulin. "Pakai baju putih-putih datang diam-diam, kau kira kau peri tidur?, dasar setan impor" berseloroh.

"Özür dilerim, afedersiniz....." beberapa patah kata Türkçe.
"Sorry aku tidak permisi dari awal, takut mengganggumu tidur, masih saja kau sibuk dengan kertas fantasi itu" Èk menyahut.

"Mattamu....." bantah Pic.

"Matttamu....?, ini realita!, bukan dunia reka-reka seperti novel-novel fiksi yang kau baca setiap hari joo....", "Sudahlaah, cukuup.....berhenti dan realistis itu beda tipis". "Ada kalanya kita harus merelakan sesuatu Piiic". "Kadang, kita harus berani berkata good bye untuk mendapati hello yang barrru" lanjut Èk.

Pic tertegun mendengar sahabatnya justru berusaha papah menghentikanya. Itu jadi cambuk. Bisa jadi, jadi lentera. Bisa jadi, jadi cermin. It's dilematic problem. Dia membenarkan duduknya malas, mengangkat kedua kakinya ke atas kursi sambil memeluk kedua lutut. Sejenak mengambil nafas panjang, lantas berucap panjang lebar.

"Èeek...." mendayu-dayu.

"Belasan tahun lalu aku suka membaca biografi tokoh-tokoh besar dunia. Mereka adalah orang-orang dengan visi besar, yang dalam kemenanganya juga pernah mengalami bertubi-tubi rasa takut. Takut untuk menang. Aku juga mengalaminya. Kebahagiaan yang diharap-harap banyak manusia: dunia akhirat. Kebahagian, pada akhirnya disimpulkan, seringkali hanya suatu "kebetulan yang menyenangkan". Kebetulan yang selalu ditunggu-tunggu banyak manusia seperti menunggu dadu yang sedang berputar. Menurut Edison, "Kesuksesan itu bertemunya kesempatan dan kesiapan". Untuk kesiapan mungkin aku sudah punya, dan kesempatan: saya yakin salah satunya Alloh menyediakanya dalam perkara rumit ini. Aku tidak berharap kepada manusia kecuali sebagai sarana. Aku juga tidak mengejar uang kecuali sebagai sarana, untuk mencapai sesuatu yang hakikati. Tapi kedua komposisi itu masih berupa adonan. Beras tidak pernah menjadi nasi tanpa dimasak. Dia akan tetap menjadi bahan, selamanya tetap bahan. Aku hanya bisa bersiap, dan aku dapat eksekusi ketika kesempatan itu datang. Jika tidak datang dengan sendirinya, aku akan menciptakanya. Tentu dengan campur tangan Tuhan. Kita punya bahanya? Ya kita punya. Tinggal memasaknya.

Jadi nasi itu belum bisa dimakan?....." telapak tanganya menisbahkan.
Lah, "dadu itu masih berputar".

"Semua orang tak pernah tau betapa pentingya hal ini bagi hidupku, kau juga, kau tak paham".

"Cek dan wasiat itu harus terkirim....." "Percayalaah kawaan.....aku akan membuat transaksi, sorun degil", tegasnya.

Dia berhenti.

Dalam beberapa saat keduanya diam, hening kembali datang. Tidak ada pita suara bergetar, tidak ada respon verbal, hanya bahasa tubuh yang memaksa menebak-nebak satu sama lain. Bahasa tubuh menuju rikuh. Seolah-olah keduanya dukun bin hipnoterapis pembaca pikiran. Saja suara-suara khas semilir angin malam, jangkrik, dan masih setelah 30 menitan sayup-sayup dangdut tak jua berhenti. Mungkin pada akhirnya semua manusia akan letih bebicara. Diam dengan mulut penuh sumpalan. Omongan hanya akan menghasilkan alasan. Manusia perlu tindakan. Yang menandakan bahwa hidup harus berkeputusan. Keputusan tanpa kemunafikan. Sinkronisasi ucapan, hati, dan perbuatan. Manusia melawan setan.

"Entahlah...." Èk merebahkan punggungnya ke kasur.

Lantas masing-masing merenung.

Sejak hari itu, harapan besar seolah pupus, segalanya berubah. Wejang-wejang pandu pikiran melayang-layang berterbangan ke awan. Mimpi itu bak biduan jalanan. Menjerumuskan dengan ciuman, langgam kefanaan. Dan surat itu tak kunjung selesai. Orang sudah banyak mengerti, "Bahwa hidup adalah pilihan". Tiada yang perlu kita debatkan sekarang, masing-masing punya pilihan. Kita hanya perlu menjalani keputusan.

Apapun. Keduanya sudah terlanjur te rlibat dalam negosiasi itu. Mereka tahu, mereka akan kalah. Seperti kehabisan peluru di medan perang. Di meja judi mereka takkan memenangkan taruhan. Kartu mereka murahan. Tapi jendral tetap jalankan ramalan. Mereka melakukanya. Bukan untuk memenangkan taruhan. Semangat sesungguhnya adalah memainkan permainan. Hanya lakukan, lakukan saja, dan yang terjadi.....terjadilah....        






- Cangkir Kertas -
"...Fiksi rasa kopi..."



By : The Running baby
             International relation scholar

                                                                                                                                     

No comments:

Post a Comment

Please comment by your kindness....thanks for your visit... : )