LetToi
“Lahir, Astromedoi City,
Goner Province, Mea States, Bulan.
19 Herosoi 00012…………………”
Seseorang yang lahir
dibulan, mampir kebumi jalan-jalan.
Lalu menulis catatan :
Dear, everyone…
Saya tidak tau mengapa ruang
itu begitu memikat hati manusia. Eye catching. Seperti mengandung unsur magis
yang sangat kuat. Mistis. Dalam hati saya bertanya-tanya, “Apakah tempat itu
dikeramatkan?. Ruang itu, tempat yang sempit itu, telah menjadi bagian hidup
tak terpisahkan bagi umat manusia dalam term: penting. Dengan beberapa
item-item benda yang kadang di bawa keluar-masuk, atau boleh saja ditiggal
didalam sana. Jika para pengunjung memutuskan meninggalkanya di dalam, mereka
akan mengisi ulang beberapanya saat habis---isi, ulang, isi, ulang.
Masing-masing mereka membawa sendiri-sendiri: sebagai wujud penghormatan,
jarang yang menggunakanya bersama. Apalagi tidak membawa. Begitu kata juru
kunci tempat itu.
Saya akan tidak begitu yakin,
jika orang-orang berkata barang-barang itu dibawa sebagai sesajen. Di zaman
yang semodern ini, ya apa masih ada saja orang-orang tolol yang melakukan hal
semacam itu. Bangsa kita terlalu beradab jika harus dibanding-bandingkan dengan
bangsa pagan zaman Yunani kuno atau masa animism dan dinamisme Nusantara Jowo.
Saya tidak tahu, saya hanya menduga. Tapi, menurut beberapa orang yang saya
tanyai, tujuan mereka kesana, adalah untuk melepas salah satu beban hidup.
Seperti seseorang yang tidak
mau disebut namanya ini :
“Maaf pak, berkenankah jika
saya bertanya?”, kata saya.
Bapak itu, sambil bersedekap
takzim, menjawab, “Hooh tentu, dengan senang hati, tapi cepat ya, banyak yang
ngantri….”
“Hmm, sebelumnya maaf pak,
saya tidak bermaksud menyinggung. Tapi kalau boleh tahu, untuk apa setiap hari
bapak pergi ke ruang itu?.
Mukanya
memerah. Saya pikir dia tersinggung. Dia seolah mengendapkan nafas yang
tertahan, atau mungkin juga menahan kata-kata kasar yang terpicu terlontar ke
wajahku.
“Intinya deek, melepaskan beban. Titik.” Begitu jawabnya.
Singkat, padat, dan masih membuat hati terpikat. Kepenasaran itu belum usai.
Kabarnya
manusia punya kebiasaan berbeda-beda saat didalamnya. Mungkin semacam
ritual-ritual khusus. Saya tidak tahu, saya hanya menduga. Tapi pagi itu,
tampak seorang masuk ke ruang itu, saya mengamatinya dari luar, terdengar dia
bernyayi. Ketika dia keluar, mencuat kalung salib dari kerah lehernya. Siang
harinya, seorang gadis Bali masuk, saya bisa tahu dari pakaianya yang khas,
memakai kemben. Dengan bunga kamboja kuning ditelinga dan beberapa butir beras
tersemat dikening, saya tau pasti dia orang hindu. Nah, lalu apakah orang tadi
pagi itu seorang kristiani. Buktinya dia bernyanyi didalam, dan memakai kalung
salib. Ah, apakah ruang itu dikeramatkan oleh manusia lintas agama.
Lalu
sorenya, erat semakin keyakinan itu, saya melihat seorang biksu gundul masuk
tanpa permisi, sama seperti dua orang sebelumnya. Apa gerangan yang dilakukan
tiga orang dengan agama berbeda itu, di ruang aneh itu. Ruang yang sama.
Lantas, menjelang magrib, saat sebentar lagi adzan berkumandang, tiba-tiba H.
Jupri berlari tunggang langgang menuju tempat idaman itu, seolah sesuatu
berbahaya mengancamnya, tapi saya tetap pada praduga utama, “Pasti melepaskan
beban”. Benar-benar aneh, ritual jenis apa ini, mendekati ruang itu Ustadz Jupri
komat-kamit terlihat membaca suatu mantra-mantra khusus. Lalu, bergegas
memasukinya. Waah, ini benar-benar kelewatan saya pikir, dunia mulai tidak
masuk akal. Terjadi krisis manusia waras, ini lebih berbahaya dari dari krisis
moneter. Tahayul seperti ini lebih berbahaya dari inflasi. “Apakah
manusia-manusia sedang mengalami tren mencampur adukan agama….?”. “Apakah
pakem-pakem sebelumnya telah berubah?”. Saya tidak tahu, saya hanya menduga.
Tiga hari
berlalu, saya masih penasaran. Tapi tiga hari ini, kudapatkan informasi penting
lanjutan tentang tempat ajaib itu. Kabar terbarunya, semua manusia yang datang
kesana minimal berhasil melepaskan satu beban hidupnya. Saya berpikir,
“Hmm…pantas saaja, dengan barokah seperti itu, siapa manusia yang tidak
tertarik”.
Padahal
secara arsitektur, tempat itu biasa saja. Tempat itu tidak mengandung ornament European
atau kemewahan. Benar-benar biasa saja.
Hal lain yang membingungkan,
di tempat itu, selain dari dapat kita dengar suara orang-orang menyanyi, kadang
seseorang dapat juga mendengar suara terompet bertubi-tubi menggema. Tidak
begitu keras, tapi cukup untuk mengkonklusikan itu suara terompet. Keanehan
lainya, akan sering muncul bau-bau menyengat hidung dari ruang itu, kadang
sangat wangi, kadang pula sangat busuk. Lalu ada juga, kadang kala, segelung
asap mengebul-ngebul dari sana. Mungkin asap dupa, ya, dupa, orang cina.
Tepatnya Konghucu.
Entahlah, apa yang dilakukan
orang-orang didalam sana. Sejak penasaran itu muncul, saya belum sekalipun
memasukinya, tapi saya berencana. Alasanya sederhana, saya takut jangan-jangan
itu tempat penistaan agama, atau juga saya mungkin betah dengan bau wanginya,
tapi tidak busuknya.
Lantas, desas-desus yang
beredar dimasyarakat, cerita-cerita di warung-warung, bahwa tempat itu banyak
menghasilkan ide-ide brilian sepanjang sejarah umat manusia. Sakral. Ada
tindak-tanduk tertentu saat keluar dan masuk. Karena tempat itu membawa lega
para manusia, begitu alasanya. Saya tidak bermaksud hiperbola, tapi begitulah.
Di sana. Orang mampu berpikir keras, lebih dari apa yang dapat mereka lakukan
di dalam kelas. Orang dapat merenung, lebih dari apa yang dapat dilakukan
petapa di gunung. Bahkan seseorang yang yang tidak pernah berminat untuk
berpikir sekalipun, yang sangat jauh dari nilai-nilai rasonalitas, yang tidak
pernah dibebat dalam prinsip-prinsip filsafat, akan tetap terpaksa berpikir
jika, mereka memasuki tempat itu. Betapa luar biasanya, jika demikian, tentu
manusia akan cerdas. Entahlah, mana yang lebih tepat, berpikir atau melamun.
Kabarnya, tempat itu
mencuatkan ketenangan. Manusia dapat menyentuh hati yang paling dalam. Menenangkan
pikiran. Menikmati rasa aman. Melepaskan beban. Bahwa hampir semua orang yang
keluar, dari sana, “merasa lega”. Ada hal-hal yang menjadi pelajaran jika manusia
berani berkorban. Ada memberi, ada diberi. Ada memasukan, ada mengeluarkan. Tidak
ada yang berantakan jika manusia memperhatikan kesimpulan. Mereka akan
bersyukur setelah bertafakur. Setelah selesai melepaskan beban, mereka akan
berkata, “Aaah....aku dapat ide brilian”. Lalu bersyukur, “Terima kasih Tuhan”.
“Dan saya, masih penasaran…..”
Akhirnya dengan segenap
kehati-hatian saya putuskan. Memasukinya dengan segala pengamanan. “Dan tahukan
apa yang kudapatkan?”. Sama sekali tidak ada yang riskan. Semua dugaan salah
kubuang dalam satu buntalan. Buntalan ketidakperluan. Jangan percaya perkataan
dugaan, masuk sendiri saja dan buktikan. Kelegaan mendatangkan segala
pengertian. Bahwa setelah kesulitan, pasti ada kemudahan. Jelek-jelek ruang ini kita butuhkan. Ini hanya ruang buatan. Penghasil
jutaan ide pemikiran. Bukan sebuah jalan menyembah setan. Kita hanya perlu
menjaga perbuatan, saat berada disana sepanjang zaman. Saya menemukan beberapa
kubangan yang mengalir pelan-pelan. Dan sebuah yang tetap dalam jamban.
Saya keluar.
Sekarang Saya mengerti,
manusia kini menyebutnya kamar mandi. Tapi memanggilnya dengan nama samaran
yang mengucapkanya bikin susah melet……..”Toilet”.
- Cangkir Kertas –
“…Fiksi rasa kopi…”
By : The
Running baby
International relation scholar
No comments:
Post a Comment
Please comment by your kindness....thanks for your visit... : )