Monday, June 30, 2014

A Value and The Egoism in Our's








A Value and
The Egoism in Our's



 


One of many essential question is,
"How much your value?".

"Mbak-mbak, ehmm....jahe anget satu dong!, sama telor puyuhnya 5 tusuk...!". Ya, seperti biasanya saat malam berjalan separuh jalan, saya pun bertolak ke waroeng angkringan khas Jakarta, alih-alih Yogyakarta. Sembari mengamati beberapa hal kecil sepanjang fase peran ini. Sebuah peran bagi kenyataan yang tak mungkin dimainkan figuran. Ya, aku masih disini, menjalankan peranku. Paket murah tur kehidupan jalanan. Saya mengerti semua orang akan berbicara menurut kehendak nafsu, akal, atau maupun hati mereka dideretan bangku itu. Lagi. Sambil duduk, menjalani semua tema haha-hihi level puncak. Bersaing demi pengakuan sebagai yang terbaik, dalam preferensi otak lain. "Siapa yang paling jenius?". Sambil berlaga se-smart narasumber bergengsi talk show televisi. Yang akan diasumsikan sebijaksana dan sepintar Socrates, yang mereka mencoba menjadi Socrates masa kini. Sesosok orang pintar "kemasan baru".

Arang akan dibakar lagi, dikipas, diorak-arik, lalu ditimbun lagi. Sampailah pada akhir perjalananya, terabukan, disfungsi. Pun pengipasnya akan menjepit sepuntung rokok mengebul-ngebul dengan merek sama seperti kemarin, berbungkus putih berlambang kapital A di tengah. Lalu menghisapnya sambil berpongah, seolah paling tenar sejagat raya lebih daripada The Beattles. Dengan style perlente ala kantoran bercelana koloran, kantong pas-pasan, wajah dempulan, kulit polesan, juga rambut agaknya dekilan, yang penting meyakinkan lawan main dia punya kemampuan. Aku mencium ada aura kebanggaan disini, di tempat ini. Dan aku pun, menyadari aroma dunia temaram serasa seperti kemarin, sejarah berulang. Topik yang masih sama, minat yang masih sama, kubu pro-kontra yang masih sama, dan sense of attitude yang juga tak jauh berbeda. Pria-pria mencari perhatian bersikap begitu berwibawa, ja-im, sembari menunjukan hartanya, wanita-wanita labil kecentilan. Ingin dipuji. Dan selain mereka yang "merasa" lebih waras pura-pura diam. Just folow how the water flow. Mereka ber-"politik"; permainan orang licik banyak intrik. Sebagian mereka tutup mata. Sebatas menjaga amanya kepentingan dan eksistensinya, itu saja, tidak lebih. Dan apapun, setiap kita hanya berusaha "bersikap". 
How much the value?

Ini bukanlah warna baru dunia. Hanya sekedar deskripsi usang sebuah kata dari setumpuk buku, yang laksana sebutir pasir dari hamparan gurun, setetes air dari bah samudra, dilalah di salah satu pojok terjamah bumi kreasi Tuhan. Egoisme. Yang menghendaki sifat pengejar-kejaran nilai. Senang dianggap wah. Sampai pada menggandrungi ketenaran. Hobi dibanggakan. Mencari perhatian adalah pekerjaan sampingan sehari-hari. Perhatian adalah kebutuhan. Kebutuhan di taraf aktualisasi diri. Saya merenung, "Inikah yang disebut pencitraan?, Atau pragmatisme?". Atas nama merek, "branding". Semua iklan televisi, baner-baner pinggiran tol, reklame lampu merah, segala gambar dunia maya, berusaha membangun image sesuatu demi status sosial. Semacam pengakuan A dan sertifikasi B. lah bukan hanya sepatu si sosialita, tas, mobil, panci dapur, kloset kamar mandi, kuda pacuan, minuman kaleng, bahkan pun "manusia". "Apa semua omong kosong ini berdampak?","Ya, berdampak". Penjilatan-penjilatan ini berimpak pula efeknya berceceran kemana-mana. Dan setiap omonganya tidaklah kosong tapi justru berisi, hanya saja bernilai positif atau negatif.

Memang, pandangan orang lain terhadap diri kita menentukan kesuksesan kita. Disadari ataupun tidak. Kita dinilai dan menilai. Kita selalu berkutat dengan label-label, mutu ini dan kualitas itu, "status sosial". Stratifikasi sosial yang membuat beberapa kepala dihormati dan beberapa tidak. Tergantung kita memakai baju "apa". Saya paham semua orang mengharapkan penghormatan. Penghargaan-penghargaan tinggi. Namun jangan lupa dunia terkreasi dalam ukuran-ukuran dan porsi-porsi. Harga berbanding lurus dengan nilai. Nilai guna tepatnya. "Ini bernilai, hanya jika ini berguna bagi saya". Nilai hanya soal preferensi personal, yang tidak pernah baku. Nisbi. Semacam relativitas terbatas, yang teduh dalam pengejawantahanya. Karena akan tetap ada sesuatu yang benilai tetap dengan ketinggianya, sedang hal itu tak butuh "pengakuan" si manusia manapun, jenis nilai yang baku. Saya menganggap buku lebih bernilai karena mendambakan ilmu yang bermanfaat, sedangkan, misalnya, dirimu lebih menghendaki putaw sebab sakaw berat. Juga langka dan tak langkanya, lalu waktu pemenuhanya, ditambah lagi seberapa berani dan lihai kita beradu tawar. Itu sangat menentukan, atau setidaknya menentukan. Adam Smith mungkin akan membahasnya secara lebih mendasar.

Dan hanya karena "nilai" sesuatu beberapa orang berjibaku berlaku "dendam dan menuntut" atau "memaafkan dan mentolelir". Ya memang tak mungkin semua orang akan sepenuhnya bijak dan bajik. Tapi tanpa penilaian bagi saya pun tidak akan pernah ada kesamarataan. Penilaian disini mengandung arti pembedaan, dalam suatu susunan bawah ke atas, yang ia adalah lawan perataan. Perataan atau persamaan, yang "identik". Dan sebagaimana semacamnya, dikotomi lain, akan selalu ada dua hal yang bertentangan. Ibarat keseharusan dua kaki pembantu kita berdiri. Yang tidak bisa hanya satu, pincang, menurut paham akali. Yang analogi itu tak dapat disamakan dengan seseorang yang dapat hidup dengan satu kaki. Sebab pasti melenceng, pemaksaan pikir-picik sepihak. Kita menalar pada pola kasus yang sama, tapi bentuk subjek yang berbeda. Manusia, dan "semesta". Yang satu begitu sederhana, sedang satunya teramat komplek. Sebab ada perbedaan, maka ada persamaan. Mengapa ada yang sama?, karena ada yang beda. Tak perlu merancukan pikiran, intinya di realitas kita meyakini perbedaan dan persamaan, cukup. Penilaian menyusun level-level, tingkatan-tingkatan, dan pada akhirnya harga-harga.

Nilai sebagai adonan yang indah. Nilai yang terus beradu-adu, bertentangan, dipertentangkan, dihujat-hujat, disalahkan, dibenarkan, disosialisasikan, dan ditanam sambil berharap berbuah kelak. Layaknya diskursus lain, perdebatan tentang nilai juga sering dihubung-hubungkan dengan. Dengan tingkat penghormatan kita terhadap sesuatu. Atau secara khusus "seseorang" misalnya. Yang selalu berusaha mengotak-atik nilai itu sendiri dalam forum otak-otak skala RT-internasional. Berharapkan legitimasi. Di ukurlah kita melalui pelbagai kepunyaan-kepunyaan, salah satunya, yang mengaku-akui hak milik; gemerincing pakaian, tunggangan, profesi, jabatan, teman, kongsi, sifat, kepatuhan, kedisiplinan, dan status lain. Atau jika tak lagi kita khususkan, merambah esensi nilai di bentuk universal. Yang dalam setiap sesuatu tersemat nilai. Satu hal yang pasti tak bisa digugat, melekat. Nilai menjadi pedoman hidup ciptaan. Prinsip-prinsip yang mana bersifat rigid. Sampai munculah ungkapan, "Pahamilah prinsip, bukan rincian". Selamanya prinsip sama saja, rincian berubah.

Kembali ke aksen sikap-sikap dan berbagai obrolan di kedai tadi. Yang pun barangkali terjadi juga di kedai-kedai lain sejenis. Berbagai pelabelan si; si pemikir, si melankolis, si plegmatis, si sanguinis, si koleris, si penggosip, si caper, si sombong, si pemaaf, si pendendam, si pengamat, si aktif, si pengagum, si tolol, si pintar, si pasif, si pendiam, dan si-si yang lain. "Si-diversitas". Barang-barang ciptaan ini, semuanya termasuk manusia, mengandung nilai. Yang pada akhir perjalananya nilai-nilai itu mengundang plot terakhir kita untuk di putar. Bahagia atau menyedihkan. Nilai-nilai ini jadi semacam proyek abadi. Yang memaksa kita bergelut dengan topeng-topeng. Karya citra dari manusia-manusia yang selalu mengharapkan sesuatu. Usaha memenuhi kebutuhan, sambil mengesampingkan yang lain. Persaingan; survival of the fittest. Bahkan dalam hal menguasai pembicaraan dan gaya. Kadang sikut sana tur sikut sini. Dan saat telah mendapati rapornya dengan nilai terbaik, kita tidak akan berhenti begitu saja.

Jika hidup tak henti dirong-rong nilai. Segalanya untuk beberapa saat kadang tak bernilai bagi beberapa manusia. Saat manusia tepeleset memahami nilai. Apalagi jika nilai itu adalah materialisme dan hedonisme. Mungkin kita perlu sejenak mencoba mengamati segala yang bernilai-nilai itu, yang menilai, yang dinilai, atau bahkan nilai itu sendiri dari kejauhan tanpa menyentuhnya atau menjadi bahagianya. Berusaha adil. Sebuah sistem yang tampak seperti opera atau pertandingan sepak bola. Kita diluar stadion mengamati dari jauh, tapi bukan pendengar. Ibarat kita duduk lalu mengibaratkan dunia dan segala isinya ibarat kolam akuarium lengkap dengan ikan-ikan dan hiasanya; karang, batu warna-warni, gelembung, background rumput laut, pasir pantai. Selanjutnya berusaha memahami apa sebenarnya maksud dari semua ini. Atau bisa juga sekedar mengamatinya dalam bentuk pantulan cermin datar. Yang meskipun memantulkanya dalam bentuk sisi terbalik: kanan ke kiri dan kiri ke kanan, dia merefleksikanya secara sempurna pada unsur yang lain. Tentu dengan mencerabut segala topeng-topeng, label-label konstruksi sosial, gender, sambil teguh membijaksanakan diri berharap kita akan mendapati pemahaman terbaik mendekati kesempurnaan nilai. Belajar kembali dari pikiran nol. Menjalani segala percakapan dialogis dalam diri kita sendiri. Berdialektika. Lebih dalam memaknai kehidupan dan hidup itu sendiri. Bertransisi dari hal akali menuju ke strata yang bersifat hati, bicara rasa. Sehingga kita tak hanya mampu membicarakan nilai secara serancu dan seambigu paragraf-paragraf ini dalam keterbatasan agit. Sepertinya memang tulisan ini perlu dibenarkan kembali.

Malam pun terlalu larut sampai tak memantaskan membiarkan mata tak terpejam. Ku bayar semua yang ku makan. Dan bergegas pulang dengan rasa damai serta sukur setinggi-tingginya. Bahwa hari ini, baru saja duduk di sebuah kedai sambil mendapati dihargai, di nilai, di labeli, dianggap, pun dihormati sebagai manusia. Itu cukup. Tanpa perlu menguasai pembicaraan dan punya gaya fashion terbaru. Berkalungkan segala harta-harta dunia yang gemerlapan, berenteng titel-titel, bergandeng wanita terseksi, berteman orang-orang kaya yang hidup mewah, atau wajah setampan bintang film. Lagi-lagi cukup, dengan pakaian rombengku. Saya kira kita perlu menghargai setiap insan terlepas dari segala pelabelan dan penilaian sepihak dalam kesejatianya sebagai manusia. Sebagai manusia. Hidup bukan hanya soal pengakuan sebagai pemenang oleh "manusia". Tuhan mengetahui segalanya dalam pandangan-Nya. Bukan kulit yang lebih penting, tapi isi. Tuhan tak melihat manusia cuma-cuma dari banyaknya mendali, titel, pangkat, sertifikat, dan merek pakaian. Tapi dari seberapa tulus kita menjalani kehidupan, ikhlas dan ihsan.  Don't judge person from it's cover. Lebih baik tampang preman tapi hatinya kiyai, daripada tampang kiyai tapi hatinya preman. Tidak semua yang berkilau adalah berlian. Ku derap langkah pertamaku, setelah tulisan ini usai. 







By : The Running baby
             International relation scholar





No comments:

Post a Comment

Please comment by your kindness....thanks for your visit... : )